HERALD.ID, JAKARTA – Rest area Kilometer 45 Tol Jakarta-Merak selalu menjadi perhentian yang ramai, bahkan di malam yang menggigil. Namun, Kamis, 2 Januari 2025, tempat itu berubah menjadi panggung kelam, saat denting peluru memecah keheningan dini hari.
Dari sebuah minibus hitam, sosok berseragam menembakkan lima peluru yang mengguratkan jejak takdir. RM, seorang pria berusia 60 tahun, terkulai dengan darah yang mengalir dari bawah ketiak kanannya. Di dekatnya, IS (48) terhuyung, luka di dada dan tangan kirinya menjadi saksi kejamnya malam. Kedua pria itu adalah bagian dari sebuah drama yang bermula dari mobil rental, tetapi berakhir dengan darah dan kehilangan.
Malam itu, keadilan pun seperti tenggelam dalam bayang-bayang. Namun, keesokan harinya, sinar matahari membawa titik terang. Di balik pintu Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Puspomal), seorang oknum TNI AL akhirnya diamankan. “Pelaku sudah diamankan di Puspomal,” ujar Mayjen Yusri Nuryanto, Komandan Pusat Polisi Militer TNI, dalam pernyataan singkatnya.
Hening kembali merayapi ruangan. Tak ada jawaban pasti saat jumlah pelaku yang ditahan dipertanyakan. Namun, kesunyian itu tidak mampu menutupi gemuruh pertanyaan di hati publik: bagaimana seorang anggota TNI AL bisa terseret ke dalam lingkaran gelap ini?
Kisah ini bermula dari GPS yang tak pernah berbohong. Alat kecil itu membawa saksi AM dan keluarganya melacak kendaraan rental yang diduga disalahgunakan. Mobil Brio oranye itu ditemukan di depan Indomaret Rest Area Kilometer 45. Namun, apa yang seharusnya menjadi akhir pencarian malah menjadi awal bencana.
“Pelaku tiba-tiba menembak secara brutal,” ujar Kompol Arif N. Yusuf, menggambarkan malam itu dengan getir. Barang bukti berupa lima selongsong peluru 9 mm dan mobil Brio oranye kini menjadi saksi bisu yang tidak bisa menyangkal kebenaran.
Dentuman senjata mungkin telah berhenti, tetapi gema malam itu masih terasa. Sosok berseragam yang seharusnya menjadi penjaga negeri kini berdiri di hadapan hukum. Di bawah tatapan tegas penyidik Puspomal, kebenaran perlahan terkuak.
Namun, di Kilometer 45, bau anyir darah masih tersisa, bercampur dengan aroma aspal yang memanas di siang hari. Rest area itu tidak lagi hanya menjadi persinggahan. Ia telah berubah menjadi monumen tak kasat mata—tentang kehancuran yang datang tiba-tiba, dan kebenaran yang menuntut untuk diceritakan. (*)