HERALD.ID, JAKARTA – Di balik senyuman yang kerap menghiasi wajahnya saat menyapa konstituen, ada lembaran kisah Maria Lestari yang penuh liku. Perempuan kelahiran Pontianak, 31 Desember 1981, ini telah mencatatkan perjalanan politik yang mencolok—baik karena prestasi maupun kontroversi. Dari seorang admin pajak hingga menjadi anggota DPR RI dua periode, Maria mengarungi alur kehidupan yang berkelok namun selalu menuju puncak.

Suara gemuruh politik pertama kali menyambut Maria ketika ia berhasil menjadi anggota DPRD Kalimantan Barat pada 2014. Di sana, ia dikenal sebagai sosok yang vokal dan karismatik, membawa suara masyarakat Kalbar ke ruang rapat yang biasanya kaku dan penuh formalitas. Jalan itu membawa Maria melangkah ke Senayan, mewakili Dapil 1 Kalimantan Barat pada 2019, meski bukan tanpa perdebatan.

Maria, dengan perolehan suara 33.006, menggantikan Alexius Akim yang meraih 38.750 suara. Pergantian antarwaktu ini membawa bisikan-bisikan di koridor kekuasaan, yang akhirnya meletup dalam kasus suap PAW yang menyeret nama Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku. Kini, nama Maria kembali mencuat, disebut oleh KPK sebagai salah satu nama yang diajukan oleh Hasto dalam pertemuan gelapnya dengan Wahyu Setiawan.

Namun, di balik kabut kontroversi, Maria tetap menunjukkan ketenangan. Ia bukan hanya seorang politisi; ia adalah sosok yang membangun komunitas. Sebagai Ketua PAUD Kabupaten Landak dan Ketua Dekranasda, Maria merangkul rakyat kecil, memelihara seni, dan memperkuat akar budaya di tempat ia tumbuh besar.

Ketika angka-angka harta kekayaannya diumumkan—Rp2,9 miliar menurut laporan LHKPN—Maria tersenyum. Tanah dan bangunan seluas ribuan meter persegi di Kabupaten Landak, sebuah Toyota Fortuner, hingga Yamaha Mio tua, semuanya adalah jejak langkahnya. Namun, angka itu tidak mampu menceritakan seluruh kisahnya—tentang perjalanan politik yang penuh intrik, kerja keras di bawah tekanan, dan mimpi yang tetap menyala meski dihantam badai.

Maria Lestari, dalam keheningan malam, mungkin merenungkan posisinya. Di satu sisi, ia adalah simbol keberhasilan seorang perempuan yang mampu menembus batas-batas yang ada. Di sisi lain, ia adalah bagian dari permainan besar politik yang penuh jebakan. Kini, dunia menunggu langkah selanjutnya—akankah ia bertahan, atau menyerah pada badai yang sedang menghampiri?

Namun, seperti seorang aktor yang berdiri di atas panggung megah, Maria tahu bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Ia tersenyum, menunduk sejenak, dan bersiap untuk babak berikutnya. Karena dalam politik, seperti juga dalam kehidupan, akhir cerita selalu ditentukan oleh keberanian. (*)