HERALD.ID, JAKARTA — Fenomena pagar laut sepanjang 30 kilometer di Banten kembali menjadi perbincangan hangat.

Keberadaannya yang dianggap merugikan masyarakat pesisir menuai kritik tajam, termasuk dari pengamat kebijakan publik, Muhammad Said Didu.

Ia mempertanyakan mengapa pemerintah tampak ragu-ragu dalam menangani masalah ini.

Melalui unggahan di akun X pribadinya, Said Didu mengungkap dugaan bahwa kekuatan oligarki telah bermain dalam proyek tersebut. Ia menduga ada pihak-pihak berkepentingan yang sengaja melindungi pagar laut ini agar tetap berdiri.

“Oligarki sudah membeli pemerintah dan penguasa,” tulisnya pada 11 Januari 2025.

Lebih lanjut, Said Didu menuding adanya praktik jual-beli fiktif atas lahan pesisir dan laut di kawasan tersebut. Ia juga menyoroti bagaimana masyarakat lokal kehilangan akses ke wilayah yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

“Terjadi jual-beli fiktif pantai dan laut,” tambahnya.

Tak hanya itu, ia juga mengungkap dugaan praktik intimidasi yang dilakukan oleh pihak pengembang. Menurutnya, proyek ini tidak hanya melibatkan kekuatan ekonomi, tetapi juga tekanan dari kelompok tertentu untuk memastikan pembangunan tetap berjalan.

“Pengembang bekerja dengan cara mafia dan preman,” tandasnya.

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Wahyu Trenggono, telah menyatakan bahwa pagar laut tersebut akan dibongkar jika terbukti tidak memiliki izin resmi.

“Bangunan-bangunan yang ada di situ harus dihentikan. Tetapi kalau izin KKPRL-nya ada, mereka bisa tetap beroperasi,” ujar Trenggono pada 9 Januari 2025.

Di sisi lain, Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Mulyanto, mendesak agar pagar tersebut tidak hanya disegel tetapi juga dibongkar sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Ia merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 Pasal 195 Ayat (h) yang mengatur sanksi tegas bagi bangunan ilegal di wilayah pesisir.

“Menurut loe, cukup nggak cuma disegel? Kalau gue sih usul harus dibongkar sesuai sanksi di PP 21/2021,” tulisnya dalam akun X pribadinya. (*)