HERALD.ID, JAKARTA – Dalam ruang kaca yang memantulkan pantulan lampu-lampu gedung KPK, suasana terasa tegang, meski tertutup formalitas. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, melangkah keluar setelah pemeriksaan selama tiga setengah jam. Wajahnya tetap tenang, bibirnya melontarkan kata-kata pendek, “Terima kasih, ya, terima kasih,” sebelum dia menghilang di balik pintu mobil hitam yang menunggunya.

Namun, ketenangan itu menyimpan badai. Di dalam gedung, alasan KPK untuk tidak menahannya menjadi sorotan. “Penyidik menilai belum diperlukan untuk dilakukan penahanan,” ujar Tessa Mahardika, juru bicara KPK, dengan nada resmi dalam konferensi pers. Sebuah keputusan yang membelah opini publik: antara keyakinan pada proses hukum dan kecurigaan pada ketidakpastian.

Alasan itu, menurut Tessa, adalah kurangnya kehadiran beberapa saksi kunci. Nama Maria Lestari dan Saiful Bahri disebut, seperti potongan puzzle yang belum tersusun sempurna. Ketiadaan mereka menjadi alasan KPK untuk menunda langkah besar berikutnya. Proses hukum, kata Tessa, bukanlah tentang kecepatan tetapi tentang ketepatan.

Namun, langkah Hasto meninggalkan gedung itu memicu pertanyaan. Sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR dan penghalangan penyidikan Harun Masiku, publik bertanya-tanya: adakah kekuatan yang mengulur waktu?

Di ruang publik, gemuruh spekulasi menyeruak. Di balik ketenangan gedung KPK, sebuah teka-teki besar menanti penyelesaian. Hasto Kristiyanto, dengan langkah mantap dan ekspresi tenang, membawa lebih dari sekadar tubuhnya; ia membawa sebuah misteri yang memancing ribuan tanya. (*)