HERALD.ID, SORONG – Fajar belum sepenuhnya merekah, ketika Pantai Saoka, Sorong, digemparkan temuan tubuh Kesia Irena Yola Lestaluhu (20). Tubuhnya terbaring kaku di pasir dingin, tanpa sehelai kain yang menutupi, dengan luka-luka menganga seolah menjadi saksi bisu dari akhir hidupnya yang tragis. Di atas permukaan laut yang tenang, kematian memecahkan kedamaian pagi itu.

Ketika berita ini sampai ke markas Pomal Lantamal XIV Sorong, Danpomal Letkol Laut (PM) Dian Sumpena memimpin timnya untuk segera melakukan penyelidikan. Lokasi kejadian ditutup, garis kuning membatasi pandangan penasaran, sementara jejak-jejak di pasir mulai dicaritahu asal-usulnya. Di tengah kegelisahan dan desakan waktu, penyelidikan menuntun mereka pada pelaku: seorang oknum TNI AL berinisial A, seorang kelasi muda yang menyimpan rahasia gelap di balik seragamnya.

Senjata yang digunakan dalam pembunuhan itu adalah sangkur—simbol kehormatan militer yang beralih fungsi menjadi alat penghancur nyawa. Namun, sangkur itu, entah bagaimana, menghilang di antara jejak peristiwa. Pencarian dilakukan, tapi hingga kini senjata itu tetap menjadi misteri, seolah ingin menghilangkan jejak kejahatan yang tak termaafkan.

“Pelaku melakukan aksinya sendiri,” ujar Letkol Dian kepada wartawan, menegaskan, ini bukanlah hasil konspirasi, melainkan tindakan seorang diri yang lahir dari alasan yang masih belum terungkap. Hubungan antara korban dan pelaku pun menjadi teka-teki yang menyelimuti kasus ini, menambah lapisan gelap pada tragedi yang sudah memilukan.

Kesia, yang mungkin sebelumnya berjalan di bawah sinar matahari, tertawa dalam kebebasan mudanya, kini diam di bawah tanah. Tubuhnya memar oleh 27 luka tusukan, setiap luka menceritakan kisah kejam dari tangan yang pernah diamanahkan untuk menjaga.