HERALD.ID, SORONG – Angin pantai Souka, yang biasanya membawa aroma laut dan keheningan malam, kini membawa bisik-bisik ketakutan. Di bawah langit yang kelabu, tempat itu menjadi saksi bisu tragedi yang menggetarkan hati. Tubuh seorang perempuan muda, Kesia Irena Yola Lestaluhu, ditemukan terbaring tanpa nyawa di tepi pantai. Kematian yang bukan saja merenggut kehidupan, tetapi juga melukai rasa aman dan kepercayaan.
Di ruang interogasi, seorang pria dengan pangkat kelasi duduk diam. Tatapan matanya kosong, tetapi di balik ketenangan itu, tersimpan cerita gelap yang perlahan terurai. Ia, seorang anggota TNI Angkatan Laut, terperangkap dalam jerat dosa yang tak terampuni. Minuman keras menjadi pengantar malamnya, dan dalam mabuk yang mungkin tidak disadarinya, sebuah tragedi tercipta. Sangkur, senjata yang seharusnya menjadi simbol perlindungan, berubah menjadi alat penghabisan.
“Motifnya masih didalami,” suara Letkol Laut (PM) Dian Sumpena terdengar tegas di hadapan wartawan. Namun, ketegasan itu tak mampu menghapus pertanyaan yang menggantung di udara: Apa yang mendorong seorang prajurit, yang dilatih untuk menjaga, melakukan tindakan sekeji itu?
Di sekitar tempat kejadian, tim forensik masih mencari sangkur yang hilang, senjata yang kini menjadi bukti penting dalam kasus ini. Namun, tidak ada benda yang mampu sepenuhnya menjelaskan kehancuran yang telah terjadi. Keheningan pantai yang biasa menenangkan, kini menyelimuti rasa takut dan kehilangan.
Danpomal berjanji, tidak ada tempat bagi perilaku seperti ini di institusinya. “Hukuman berat ataupun pemecatan, itu perintah langsung,” tegasnya. Janji itu adalah langkah awal untuk memulihkan kepercayaan publik, meski luka yang tercipta tidak akan mudah terobati.
Malam di Souka kembali sunyi, tetapi tidak lagi sama. Angin yang berhembus membawa cerita yang berat, kisah tentang kepercayaan yang dikhianati, dan seorang perempuan muda yang hidupnya direnggut di tempat yang seharusnya menjadi pelipur lara. (*)