HERALD.ID, JAKARTA – Jarum jam merayap mendekati sore. Sebuah babak baru tengah dirangkai di balik gedung-gedung megah yang berdiri kokoh di ibu kota Jakarta. Di salah satu sudut kota, di ruang rapat yang dipenuhi cahaya matahari yang memantul di dinding-dinding kaca, Sekda Jakarta, Marullah Matali, bersiap menyambut tamu istimewa—tim transisi Pramono Anung dan Rano Karno.

Marullah, dengan langkah penuh keyakinan, menyusuri koridor panjang yang beraroma wangi kopi dari meja-meja kerja pegawai. Dia membawa tumpukan dokumen penting, simbol tanggung jawab yang kini diserahterimakan kepada generasi baru kepemimpinan. Senyum ramahnya menyiratkan harapan, meski tangannya menggenggam erat berkas seperti menggenggam masa depan Jakarta.

Di sisi lain kota, Tim Transisi Pramono-Rano—dipimpin oleh Ima Mahdiah—bersiap dengan semangat yang sama. Ima, yang dikenal dengan kepiawaiannya dalam mengelola komunikasi, memimpin tim yang terdiri dari para profesional dan sahabat kampanye. Mereka tidak hanya membawa ide dan visi, tetapi juga mimpi akan Jakarta yang lebih baik, inklusif, dan modern.

Langkah-langkah kecil mereka menggema dalam narasi besar kota ini. Ima dengan lugas menyampaikan, “Kami di sini bukan untuk memutuskan, tetapi menyiapkan jalan. Agar begitu Pramono dan Bang Doel dilantik, mereka dapat langsung bekerja tanpa hambatan.”

Di ruang pertemuan, dialog yang hangat menggantikan formalitas. Pertanyaan bertukar jawaban, strategi bertemu eksekusi, sementara secangkir teh hangat menjadi saksi diam dari pertemuan itu. Sekda Marullah menekankan pentingnya kesinambungan. “Transisi bukan sekadar serah terima, tetapi jembatan yang kokoh menuju pemerintahan yang berfungsi,” ucapnya dengan nada tenang namun tegas.

Pramono dan Rano, dengan gaya khas mereka, memercayakan transisi ini pada Ima dan tim. Tim teknis, seperti Yunarto Wijaya di bidang teknologi informasi, hingga Prof. Firdaus Ali di bidang kebijakan lingkungan, adalah pilar-pilar yang membangun landasan visi mereka. Setiap nama bukan hanya jabatan, tetapi cerita dedikasi.

Sore itu, Jakarta seperti menarik napas panjang. Kota ini bersiap menyambut era baru dengan harapan dan optimisme. Dalam senja yang meredup, ada cahaya yang menyala di hati mereka yang bekerja tanpa pamrih. Mereka tahu, ini bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang Jakarta yang lebih baik esok hari. (*)