HERALD.ID, BEKASI – Mentari pagi baru saja menyinari kawasan Cibarusah ketika Sandy Permana, seorang aktor sinetron yang akrab dengan peran mistis, melangkah keluar rumahnya. Hari itu, Minggu pagi, Sandy terlihat santai. Dengan senyum kecil, ia meluncur di atas sepeda listrik, membawa beberapa barang untuk keperluan ternaknya. Namun siapa sangka, perjalanan pulangnya akan berakhir dengan darah dan duka.
Di sebuah gang sempit, Gimbal, tetangganya yang dikenal pendiam dan tertutup, menunggu. Sosoknya seperti bayangan yang sudah lama menghantui. Mereka pernah bersitegang, kata kerabat, meski perseteruan itu disebut-sebut telah selesai. Tetapi, pagi itu, dendam lama seperti menemukan jalannya kembali.
Tanpa banyak kata, Gimbal—atau Nanang Irawan, seperti nama aslinya—muncul di hadapan Sandy. Dalam hitungan detik, sebuah serangan membabi buta terjadi. Pisau yang berkilat di tangan Gimbal merobek udara dan tubuh Sandy berkali-kali. Terluka parah, Sandy sempat berlari, mencoba mencari pertolongan. Darah yang mengucur dari tubuhnya meninggalkan jejak di gang kecil itu, membisikkan cerita tragis kepada siapa pun yang menemukannya.
Sandy akhirnya roboh di depan rumah seorang perawat. Dalam kondisi kritis, ia dilarikan ke rumah sakit, tetapi takdir tak berpihak. Sandy menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkan luka yang tak hanya menggores tubuhnya, tetapi juga hati keluarganya.
Di tempat lain, Gimbal menghilang bersama istrinya. Keberadaan mereka menjadi misteri. Namun, jejak mereka tak sepenuhnya hilang. Rekaman CCTV menunjukkan pasangan itu berjalan beriringan tak lama setelah kejadian. Anehnya, ketika polisi meminta keterangan, sang istri memberi alibi yang penuh lubang. Katanya suami mengantar anak sekolah. “Hari Minggu mana ada sekolah?” gumam seorang warga, mengomentari keterangan istri Gimbal.
Ade Andriani, istri Sandy, menyebut nama Gimbal sebagai pelaku. Nama itu juga terucap dari bibir Sandy sebelum ia kehilangan kesadarannya. Warga pun mengingat Gimbal, tetangga yang jarang berbaur, dan di beberapa kesempatan disebut mirip Limbad. “Pendiam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin kita waspada,” bisik seorang warga.
Amelia, kakak ipar Sandy, menambahkan kepingan cerita lain. Ia pernah bekerja bersama Gimbal di industri perfilman, di mana Gimbal bertugas sebagai soundman di sinetron Tukang Bubur Naik Haji. “Orangnya memang jarang bicara. Tapi ada perang dingin dulu antara mereka, meski katanya sudah selesai,” katanya. Namun, apakah dendam lama itu benar-benar telah mati? Atau justru ia telah membara dalam diam selama bertahun-tahun?
Polisi terus menggali. Barang bukti seperti sandal jepit ditemukan di sekitar lokasi kejadian. Saksi-saksi mulai bicara, menyebut cekcok yang terjadi antara Sandy dan Gimbal di sebuah warung beberapa waktu lalu. Semua tanda mengarah ke Gimbal, sosok yang kini menjadi bayangan buram dalam tragedi ini.
Di sebuah gang yang kini terasa semakin sempit, cerita Sandy Permana akan selalu dikenang. Ia adalah kisah tentang rasa sakit, tentang dendam yang membara di balik senyap, dan tentang tetangga yang tak pernah benar-benar kita kenal. Sementara itu, Gimbal dan istrinya masih menjadi teka-teki, membayangi cerita ini dengan keheningan yang mencekam. (*)