HERALD.ID, JAKARTA – Dalam keremangan pagi Jakarta yang sibuk, sebuah rapat penting tengah berlangsung di sebuah gedung pemerintahan. Para pejabat lintas kementerian berkumpul dengan satu agenda besar: membahas masa depan pendidikan selama bulan suci Ramadhan. Di tengah ruang rapat yang dipenuhi suara diskusi, Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, berdiri tegak. Wajahnya memancarkan tanggung jawab besar, mengemban harapan masyarakat yang beragam.
“Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, namun kita perlu memastikan bahwa berkah ini juga meresap dalam pendidikan anak-anak kita,” ujar Mu’ti dengan nada yang tegas namun bersahaja.
Aspirasi masyarakat membanjir seperti sungai yang tak pernah surut. Ada yang berharap sekolah diliburkan penuh, membiarkan anak-anak tenggelam dalam suasana keagamaan yang kental. “Ramadhan adalah saat terbaik untuk anak-anak belajar tentang iman dan akhlak di lingkungan keluarga dan masyarakat,” kata seorang ibu dalam sebuah forum diskusi daring yang menjadi acuan rapat ini.
Namun, ada juga suara yang lebih moderat. Mereka mengusulkan model campuran: beberapa hari libur di awal dan menjelang akhir Ramadhan, sementara pertengahan bulan diisi dengan kegiatan belajar yang lebih ringan. “Dengan begini, anak-anak tetap belajar tanpa kehilangan esensi Ramadhan,” tulis seorang guru dari Surabaya dalam surat elektroniknya kepada kementerian.
Di sisi lain, ada pandangan yang cukup kontroversial. Beberapa pihak percaya bahwa sekolah harus tetap berjalan seperti biasa, dengan menyesuaikan waktu belajar dan memasukkan lebih banyak pelajaran berbasis keagamaan. “Ramadhan seharusnya menjadi momen integrasi iman dan ilmu, bukan sekadar waktu untuk berhenti belajar,” tegas seorang ulama muda yang turut serta memberikan pandangan.
Mu’ti mendengarkan dengan saksama, mengangguk-angguk kecil. Ia memahami bahwa setiap usulan adalah cerminan dari kebutuhan dan pandangan hidup yang beragam. Ia juga sadar bahwa keputusan yang diambil nanti harus meminimalkan konflik antara sekolah umum dan madrasah, seperti yang sering terjadi di masa lalu.
“Koordinasi dengan Kementerian Agama menjadi kunci agar kebijakan ini konsisten di seluruh lembaga pendidikan,” ujarnya sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya.
Di luar gedung, kota Jakarta terus bergerak dengan ritmenya yang sibuk. Namun di dalam ruangan itu, waktu seolah berhenti. Diskusi terus mengalir, mencari jalan tengah yang dapat menyatukan aspirasi masyarakat tanpa mengorbankan semangat belajar dan ibadah.
Keputusan akhir mungkin masih jauh, namun Mu’ti percaya bahwa semangat gotong-royong dalam mencari solusi ini adalah cerminan dari nilai-nilai Ramadhan itu sendiri: saling mendengarkan, menghormati, dan berbagi.
Ketika rapat usai, ia melangkah keluar dengan senyum kecil di wajahnya. Di kejauhan, suara azan Zuhur berkumandang, seolah menjadi pengingat bahwa setiap langkah yang diambil harus selalu berpijak pada iman dan kebijaksanaan. (*)