HERALD.ID, NTT – Senja merangkak perlahan di Desa Soba, sebuah sudut yang tenang di Amarasi Barat, Nusa Tenggara Timur. Namun, di sebuah rumah kecil, di bawah cahaya temaram yang mulai memudar, ketenangan itu sirna digantikan oleh suara kemarahan.
Deningsi Bano Beti berdiri di ambang pintu rumahnya, wajahnya menyala oleh bara emosi yang tak terkatakan. Kornalius Marion Bano, suaminya, baru saja pulang setelah berhari-hari menghilang. Perdebatan mereka, seperti api yang tersiram minyak, semakin membesar—suara sandal yang dilempar, tamparan yang mendarat, dan kata-kata yang memekik bagai sembilu.
Di tengah kekacauan itu, ada FKJB, anak kecil berusia satu tahun tujuh bulan, yang tak tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa yang penuh luka dan amarah. Ia berada di pelukan ayahnya, dua kaki mungilnya menjuntai tak berdaya.
Dalam kemarahan yang memuncak, Deningsi meraih parang yang tergeletak di sudut rumah. Parang itu, benda yang biasanya digunakan untuk menebas rumput atau kayu bakar, kini berubah menjadi alat yang menakutkan di tangannya. Ia mengayunkannya ke arah Kornalius, dengan niat melukai, melampiaskan dendam yang tertumpuk.
Namun, malam yang mulai gelap itu membuat segalanya buram. Parang yang terayun tak sampai ke tujuan, melainkan ke kaki kecil FKJB yang tergantung di pelukan ayahnya. Jeritan memecah udara. Darah mengalir deras, membasahi lantai tanah yang dingin.
Kornalius terperangah, sementara Deningsi terpaku, parang jatuh dari tangannya. Kedua orang dewasa itu terdiam di tengah suara tangis kecil yang memudar perlahan. FKJB, balita tak berdosa, menjadi korban dari pertikaian yang seharusnya tak pernah terjadi.
Detik-detik yang Mengerikan
Malam itu, upaya untuk menyelamatkan nyawa FKJB dilakukan. Namun, darah yang terlalu banyak hilang membawa pergi sisa-sisa harapan. Pada pukul empat pagi, di tengah hening yang menusuk, nafas kecil itu berhenti. Dunia kehilangan satu lagi tawa mungilnya.
Kasat Reskrim Polres Kupang, AKP Yeni Setiono, berbicara dingin kepada media, mengurai fakta tanpa emosi. “Korban tewas kena sabetan parang di kedua kakinya,” ujarnya, menambahkan garis tragis dalam cerita yang sudah kelam.
Sebuah Kehilangan Tanpa Jawaban
Di Desa Soba, pagi yang datang membawa keheningan. Tidak ada suara tawa balita yang biasanya memenuhi ruang kecil itu. Yang tersisa hanya dinding yang sunyi, tanah yang ternoda darah, dan dua hati yang terluka—Deningsi dan Kornalius, masing-masing membawa beban yang tak tertanggungkan.
FKJB, yang hanya sekejap menikmati dunia, kini menjadi saksi bisu bahwa amarah dan kekerasan tak pernah membawa kebaikan. Ia pergi, meninggalkan luka yang tak bertepi di hati mereka yang mencintainya, dan sebuah pelajaran pahit bagi kita semua: dalam sebuah rumah, seharusnya hanya ada cinta, bukan parang. (*)