HERALD.ID, MEDAN – Polemik soal seorang siswa SD yang diduga dihukum duduk di lantai karena menunggak SPP kembali memanas, dan kini masuk babak baru yang mengejutkan. Yani, kakak dari Kamelia—ibu murid yang terekam dalam video viral tersebut—muncul ke hadapan publik dengan pengakuan yang menghebohkan. Dalam permohonan maafnya, Yani mengklaim bahwa insiden itu adalah “settingan” belaka, ulah dari adiknya sendiri.
“Saya atas nama keluarga meminta maaf. Ini semua kelakuan Kamelia,” ucap Yani dengan nada bergetar, dalam video klarifikasi yang kini juga ramai dibagikan. Pernyataan ini seolah membuka kotak Pandora, mengundang lebih banyak tanya daripada jawaban. Warganet pun terbelah: sebagian mendukung pengakuan Yani dan mengecam Kamelia, sementara yang lain curiga Yani berada di bawah tekanan atau intimidasi.
“Ada yang aneh dari gestur Yani,” ujar seorang warganet dalam kolom komentar, menyinggung kemungkinan bahwa klarifikasi tersebut bukanlah murni dari inisiatif pribadi. Beberapa bahkan menduga Yani mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk meluruskan narasi yang mulai merugikan banyak pihak, termasuk pihak sekolah dan guru yang menjadi sasaran hujatan publik.
Namun, tak sedikit pula yang menerima pernyataan Yani mentah-mentah. Mereka mengarahkan kritik pedas pada Kamelia, yang dianggap sengaja memanfaatkan momen untuk menciptakan simpati. “Kalau benar ini settingan, betapa jahatnya memainkan emosi publik demi konten,” tulis seorang warganet.
Dugaan bahwa kejadian ini adalah hasil rekayasa semakin diperkuat oleh detail dalam narasi yang beredar. Ada yang menyebut Kamelia sengaja merekonstruksi hukuman agar tampak lebih dramatis untuk kepentingan viral. Namun, keraguan juga muncul dari fakta bahwa dalam video yang viral sebelumnya, guru yang bersangkutan tidak memberikan bantahan apapun.
“Kalau memang settingan, kenapa guru itu diam saja ketika divideo?” tanya salah satu akun dengan nada skeptis. Sementara itu, beberapa warganet lainnya mengingatkan publik untuk berhati-hati sebelum menghakimi, mengingat dampak besar yang telah dirasakan pihak guru dan sekolah.
Kasus ini menjadi cermin betapa mudahnya opini publik terbelah dalam era media sosial. Yang seharusnya menjadi momen refleksi atas masalah pendidikan, kini berubah menjadi panggung drama yang penuh spekulasi. Benar atau tidaknya pengakuan Yani, satu hal yang pasti: anak-anak dan tenaga pendidik yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini sudah telanjur menanggung beban psikologis dari polemik yang belum menemukan titik terang.
Di balik layar, kita hanya bisa berharap semua pihak terkait mampu menyelesaikan permasalahan ini dengan cara yang bijaksana, jauh dari kebisingan opini warganet yang sering kali lebih memperkeruh keadaan daripada menawarkan solusi.
MI (10), murid yang jadi tokoh utama dalam drama ini, sudah mendapatkan beasiswa hingga tamat SMA. Beasiswa itu datang dari DPD Gerindra Sumatera Utara, yang sekaligus membayarkan tunggakan SPP MI selama 3 bulan. (*)