HERALD.ID, JAKARTA – Angin pagi membawa kabar usulan yang mengguncang dunia maya. Sultan Najamuddin, Ketua DPD RI, dengan suara lantang menggagas ide yang, menurutnya, penuh semangat gotong royong. Ia mengusulkan rakyat Indonesia untuk turut menyumbang demi mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah program ambisius yang digagas pemerintah.
“Masyarakat kita ini DNA-nya dermawan,” ujar Sultan dengan optimisme yang membumbung tinggi. Ia membayangkan, dalam kehangatan semangat zakat dan bantuan sukarela, rakyat akan bersatu untuk memastikan setiap perut terisi makanan bergizi. “Kenapa tidak kita manfaatkan ini?” lanjutnya, seolah bertanya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Namun, di balik pidato yang penuh harapan itu, netizen mendengar nada yang berbeda. Dunia maya yang tak pernah tidur segera menggeliat dengan komentar tajam, sinis, dan penuh kekecewaan.
“KENAPA GAK POTONG AJA DARI DANA TUNJANGAN KALIAN PAK 🗿,” tulis salah satu pengguna Twitter, menyuarakan kekecewaan banyak orang. Sentimen serupa mengalir deras di kolom komentar, menggambarkan jurang yang semakin lebar antara harapan rakyat dan realitas wakil mereka.
Netizen merasa gagasan Sultan mengesampingkan fakta bahwa mereka, sebagai rakyat, sudah menanggung beban berat ekonomi. Banyak yang mengusulkan agar para pejabat lebih dulu berkorban, memotong tunjangan besar mereka, sebelum meminta rakyat untuk menyumbang.
“Kalau anggaran APBN kurang, kenapa bukan tunjangan kalian yang dipangkas dulu, Pak? Kan lebih adil,” cetus seorang pengguna lain dengan nada penuh ironi.
Tak hanya di ranah maya, percikan isu ini merembet ke obrolan warung kopi, meja makan keluarga, dan forum diskusi informal. Ide Sultan dianggap mewakili paradigma lama, di mana rakyat kecil selalu dijadikan tumpuan atas kesalahan pengelolaan anggaran.
Di sisi lain, Sultan tetap kukuh. Dalam berbagai wawancara, ia menjelaskan bahwa usulan ini bukan sekadar solusi darurat. “Jepang sudah mulai mendukung kita,” ujarnya dengan bangga, menandai adanya dukungan internasional untuk program ini. Ia bahkan menyebut bahwa beberapa duta besar telah menerima gagasannya dengan baik.
Namun, di balik optimisme Sultan, kritik netizen tetap mengalir deras, seperti arus sungai yang tak terbendung. Sebuah usulan yang awalnya dimaksudkan untuk membangun rasa gotong royong justru menjadi bumerang, memunculkan perdebatan yang memperlihatkan keresahan masyarakat terhadap para wakil mereka.
Program MBG tetap berjalan, tetapi narasi di baliknya kini penuh dengan pertanyaan besar: Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk memastikan setiap rakyat Indonesia mendapatkan makanan bergizi? Apakah rakyat harus terus bergotong royong, atau sudah waktunya para pemimpin menunjukkan pengorbanan nyata?
Narasi ini menjadi saksi bahwa di tengah cita-cita luhur, ada suara-suara yang mendesak keadilan, transparansi, dan rasa tanggung jawab yang lebih besar dari mereka yang berada di puncak piramida kekuasaan. (*)