HERALD.ID, JAKARTA – Di tengah pekatnya asap yang membubung dari Glodok Plaza, Rabu malam itu, waktu seolah berhenti. Kobaran api melahap lantai demi lantai gedung tua yang menyimpan kenangan dan cerita dari ribuan penghuni serta pengunjungnya. Dalam kekalutan itu, sebuah kabar tersiar bak angin berbisik, cepat, tanpa kepastian—Leony Ang, disjoki muda yang tengah naik daun, dikabarkan menjadi salah satu korban yang tak selamat.

Di dunia maya, ucapan duka mengalir deras, membanjiri akun media sosial Leony. Foto-fotonya disandingkan dengan pesan-pesan kehilangan, seolah api yang menghanguskan gedung itu telah merenggut seorang bintang muda dari langit kehidupan. Nama Leony, yang biasanya diasosiasikan dengan dentuman musik dan keramaian klub, kini melantun dalam nada pilu.

Namun, kenyataan punya caranya sendiri untuk memutar balik takdir. Dari balik layar ponsel, Leony muncul, wajahnya tersenyum masam, namun matanya berbicara tentang kegelisahan. “Guys, gue masih hidup,” tulisnya, menembus kabut duka yang tak seharusnya ada.

Ia menjelaskan, dirinya memang sering tampil di sebuah klub di Glodok Plaza. Tempat itu menjadi saksi perjalanan kariernya dari seorang pemula yang hanya bermimpi menjadi DJ, hingga kini, ketika namanya mulai dikenal di berbagai kota. Namun malam itu, nasib membawanya menjauh dari gedung yang terbakar. Ketika api melahap lantai demi lantai, Leony justru berada di tempat lain, tak tersentuh oleh bahaya, meski tidak luput dari getirnya rumor.

Dalam klarifikasinya, Leony turut mengungkapkan bela sungkawa kepada mereka yang tak seberuntung dirinya. “Turut berduka cita untuk para korban. Saya masih sehat dan tidak berada di kawasan itu,” tulisnya, seolah ingin memastikan bahwa meski dirinya luput dari tragedi, hatinya tetap bersama mereka yang terjebak di dalamnya.

Di balik kabar ini, ada ironi yang menyentuh. Nama Leony yang terseret dalam berita duka justru menjadi pengingat betapa rentannya informasi di tengah bencana. Leony tidak hanya harus membuktikan bahwa ia masih hidup, tetapi juga membawa suara simpati bagi mereka yang kehilangan—14 orang hilang, enam meninggal, dan sebuah gedung yang tak lagi berdiri seperti sedia kala.

Malam itu, Leony menjadi simbol kecil dari bagaimana kehidupan dan kematian bisa begitu dekat dalam pandangan manusia. Di satu sisi, ia melanjutkan langkahnya, menghidupkan kembali dentuman musik yang sempat terhenti oleh duka. Di sisi lain, ia membawa cerita Glodok Plaza dalam hatinya, sebagai pengingat bahwa dalam setiap nada yang ia mainkan, ada kehidupan yang terus berlanjut, meski dalam kerangka kenangan yang hangus terbakar.

Asap telah hilang, api telah padam, tetapi jejak cerita itu tetap tertinggal. Glodok Plaza kini menjadi bagian dari sejarah yang dituturkan, dan Leony, dalam nafas hidupnya, menjadi saksi bahwa kehidupan bisa kembali berdentum, bahkan setelah duka melanda. (*)