Saat ini, spanduk-spanduk dengan tulisan tajam berkibar, membawa pesan yang lebih berat dari kain yang menahannya. “Pak Presiden, Selamatkan Kami dari Menteri Pemarah, Suka Main Tampar dan Main Pecat,” masih beredar di media sosial.
Di tengah kerumunan, seorang pria paruh baya berdiri dengan mata memerah, mungkin karena kantuk, atau mungkin karena tangis yang ia sembunyikan. “Institusi negara bukan perusahaan pribadi Satryo dan Istri!” serunya, memecah keheningan pagi. Di belakangnya, papan bunga penuh sindiran menjadi saksi bisu, sebuah potret ironi di depan bangunan yang semestinya melahirkan pengetahuan dan keadilan.
Aksi itu tidak hanya hidup di dunia nyata. Dunia maya telah menjadi gaung lain dari suara-suara ini. Di platform X, unggahan Iman Zanatul Haeri tentang spanduk dan poster demonstrasi dengan cepat menyebar. Komentar-komentar muncul, seperti daun-daun yang gugur di musim kering. @yearrypanji menulis dengan nada menggigit, “Pemecatan tidak adil yang dialami Sdri. Neni Herlina bisa terjadi kepada kita semua. Pilihannya hanya: LAWAN ATAU MENUNGGU GILIRAN!”
Sosok Neni Herlina, seorang pegawai yang namanya kini menjadi simbol perlawanan, disebut-sebut menjadi pemantik api ini. Pemecatannya, yang kabarnya dilakukan sepihak oleh Menteri Satryo Brodjonegoro, menjadi bahan bakar yang meluapkan amarah kolektif.
Desas-desus tentang Satryo tidak berhenti di situ. Di pojok gelap platform X, seorang pengguna mengungkapkan cerita yang lebih menyeramkan. “Mendiktisaintek, Satryo B., kabarnya tampar sopir lalu mutasi pegawai. Tidak ada pegawai wanita di ring 1-nya karena istrinya cemburuan,” tulis @Duma5758.
Namun, di balik semua itu, keheningan terasa mencengkam di sisi lain. Pihak kementerian belum mengeluarkan sepatah kata pun. Gedung megah itu tampak kokoh di luar, tetapi di dalam, atmosfernya mungkin penuh bisik-bisik, ketegangan, dan kecemasan.
Seperti badai yang tengah berembus di atas laut, aksi ini menjadi gelombang yang terus membesar. Tidak ada yang tahu bagaimana kisah ini akan berakhir—apakah keadilan akan muncul seperti matahari di pagi yang mendung, atau akankah ia tenggelam dalam gelapnya kuasa? Namun, satu hal yang pasti: di jalan-jalan Jakarta, suara rakyat telah menggema, menantang tirani di atas singgasana. (*)