HERALD.ID, JAKARTA – Pada Senin pagi, 20 Januari 2025, gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mendadak dipenuhi suara riuh dari para aparat sipil negara (ASN). Seiring dengan gemuruh unjuk rasa yang mengguncang dinding kementerian itu, wajah Satryo Soemantri Brodjonegoro, Menteri Diktisaintek yang baru dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto, menjadi pusat perhatian. Ketegangan antara pimpinan dan bawahannya tak terelakkan, dengan tuduhan tentang sikap arogan yang dilontarkan oleh para demonstran, yang semakin memanaskan suasana.
Spanduk-spanduk berwarna mencolok menghiasi halaman gedung, menyerukan pesan-pesan keras kepada Presiden: “Selamatkan Kami Dari Menteri Pemarah, Suka Main Tampar, dan Main Pecat.” Ada pula spanduk lainnya yang bertuliskan “Institusi Negara, Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri,” sebuah sindiran tajam yang mencuatkan kecurigaan mengenai pengelolaan kementerian yang dianggap tidak transparan dan berbau nepotisme.
Satryo Soemantri Brodjonegoro, seorang tokoh akademik dan teknokrat yang diharapkan mampu mengelola perubahan dalam dunia pendidikan dan riset, kini tengah menghadapi tantangan besar. Lahir di Delft, Belanda, pada 5 Januari 1956, Satryo dikenal sebagai sosok yang berpendidikan tinggi, dengan gelar Ph.D. dari University of California, Berkeley, dan telah menorehkan banyak prestasi.
Namun, di balik reputasinya yang gemilang, perasaan tidak puas dari kalangan ASN di kementeriannya menunjukkan ketegangan yang semakin membesar. Para pegawai yang sebelumnya mungkin mengagumi integritas dan dedikasi Satryo, kini tampaknya merasa terpinggirkan dan tertekan di bawah gaya kepemimpinan yang dipandang terlalu keras.
Di balik aksi demo yang kian viral di media sosial, tersembunyi keresahan yang lebih dalam. Apakah masalah ini hanya sekadar ketidakcocokan pribadi atau ada masalah struktural yang belum terungkap? Belum ada pernyataan resmi dari Kemendiktisaintek mengenai hal ini, namun ketegangan yang terjadi jelas menciptakan kehebohan. “Dikti” menjadi trending di media sosial, menyiratkan betapa besar dampak peristiwa ini terhadap perhatian publik.
Satryo, yang sebelumnya dikenal sebagai pemimpin yang banyak memberikan kontribusi di dunia pendidikan, kini harus menghadapi ujian besar dalam kepemimpinannya. Ketika institusi yang dibangun dengan susah payah menghadapi gejolak dari dalam, sebuah pertanyaan besar muncul: Apakah Satryo bisa meredakan konflik ini dan membuktikan bahwa kepemimpinannya layak untuk melanjutkan visi besar yang diusungnya?
Saat ini, spanduk-spanduk dengan tulisan tajam berkibar, membawa pesan yang lebih berat dari kain yang menahannya. “Pak Presiden, Selamatkan Kami dari Menteri Pemarah, Suka Main Tampar dan Main Pecat,” masih beredar di media sosial.
Di tengah kerumunan, seorang pria paruh baya berdiri dengan mata memerah, mungkin karena kantuk, atau mungkin karena tangis yang ia sembunyikan. “Institusi negara bukan perusahaan pribadi Satryo dan Istri!” serunya, memecah keheningan pagi. Di belakangnya, papan bunga penuh sindiran menjadi saksi bisu, sebuah potret ironi di depan bangunan yang semestinya melahirkan pengetahuan dan keadilan.
Aksi itu tidak hanya hidup di dunia nyata. Dunia maya telah menjadi gaung lain dari suara-suara ini. Di platform X, unggahan Iman Zanatul Haeri tentang spanduk dan poster demonstrasi dengan cepat menyebar. Komentar-komentar muncul, seperti daun-daun yang gugur di musim kering. @yearrypanji menulis dengan nada menggigit, “Pemecatan tidak adil yang dialami Sdri. Neni Herlina bisa terjadi kepada kita semua. Pilihannya hanya: LAWAN ATAU MENUNGGU GILIRAN!”
Sosok Neni Herlina, seorang pegawai yang namanya kini menjadi simbol perlawanan, disebut-sebut menjadi pemantik api ini. Pemecatannya, yang kabarnya dilakukan sepihak oleh Menteri Satryo Brodjonegoro, menjadi bahan bakar yang meluapkan amarah kolektif.
Desas-desus tentang Satryo tidak berhenti di situ. Di pojok gelap platform X, seorang pengguna mengungkapkan cerita yang lebih menyeramkan. “Mendiktisaintek, Satryo B., kabarnya tampar sopir lalu mutasi pegawai. Tidak ada pegawai wanita di ring 1-nya karena istrinya cemburuan,” tulis @Duma5758.
Namun, di balik semua itu, keheningan terasa mencengkam di sisi lain. Pihak kementerian belum mengeluarkan sepatah kata pun. Gedung megah itu tampak kokoh di luar, tetapi di dalam, atmosfernya mungkin penuh bisik-bisik, ketegangan, dan kecemasan.
Seperti badai yang tengah berembus di atas laut, aksi ini menjadi gelombang yang terus membesar. Tidak ada yang tahu bagaimana kisah ini akan berakhir—apakah keadilan akan muncul seperti matahari di pagi yang mendung, atau akankah ia tenggelam dalam gelapnya kuasa? Namun, satu hal yang pasti: di jalan-jalan Jakarta, suara rakyat telah menggema, menantang tirani di atas singgasana. (*)