HERALD.ID, MAKASSAR – Senin pagi itu, angin Jakarta terasa lebih berat bagi Neni Herlina. Duduk di antara tumpukan dokumen di meja kerjanya, ia mengenang awal mula kisah yang membawanya pada aksi ratusan ASN Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Semuanya bermula dari satu pesan WhatsApp yang singkat namun mengguncang: “Saya pecat kamu.”
Neni, pegawai ASN yang selama bertahun-tahun menjalankan tugas dengan dedikasi, tak pernah menyangka kariernya akan tergelincir oleh masalah yang, baginya, terkesan sepele. Ia mengingat bagaimana sang Menteri, Satryo Soemantri Brodjonegoro, dengan nada tajam telah memperingatkannya sejak awal. “Ini kesalahan pertama, ya. Kalau dua lagi, saya pecat kamu,” begitu suara yang terngiang dari pertemuan pertama mereka.
Puncak kemarahan Menteri terjadi saat tim rumah tangga memasang jaringan internet di rumah dinas hingga larut malam. “Pak Menteri ingin semuanya segera selesai,” kenang Neni. Namun, di balik layar upaya timnya, manusiawi tak terhindarkan—ketua timnya, Angga, jatuh sakit dan tak sempat menjawab telepon dari Menteri. Ketidakhadiran itulah yang memicu pesan pemecatan via WhatsApp, dikirim langsung ke Neni.
Neni menceritakan bahwa malam itu, dirinya berada di antara tuntutan tugas yang mendesak dan keterbatasan manusia. Namun, pesan singkat yang ia terima mengubah segalanya.
Keputusan itu, baginya, tidak hanya tiba-tiba tetapi juga meniadakan ruang dialog yang selama ini dianggap sebagai mekanisme penting dalam penyelesaian konflik. “Masalah Wifi itu akhirnya di-WA ke Sekjen: ‘Pak Sekjen tolong dikeluarkan Mas Angga dan Neni,'” katanya sambil menghela napas panjang.
Sekjen Kemendiktisaintek, Togar M Simatupang, memberikan pernyataan bahwa tak ada pemecatan mendadak. Namun, kenyataan yang dialami Neni berkata lain. Ratusan ASN turun ke jalan, menuntut keadilan, membawa suara mereka untuk rekan yang terpinggirkan tanpa kesempatan pembelaan.
Neni kini duduk di antara harapan dan ketidakpastian, menunggu apakah suara-suara itu mampu membalik keputusan. Pesan WhatsApp yang awalnya sederhana kini menjadi simbol betapa rapuhnya batas antara loyalitas dan keterbuangan dalam dunia birokrasi. (*)