HERALD.ID, JAKARTA – Di tengah deru Jakarta yang tak pernah sunyi, pagi itu kantor Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi (Ditjen Dikti Kemdiktisaintek) diselimuti suasana berbeda. Ratusan aparatur sipil negara berkumpul, menyuarakan satu nada protes, membentangkan spanduk dengan pesan yang tajam. Nama Neni Herlina menggema di setiap sudut aksi itu, seakan menjadi lambang keadilan yang dituntut, yang terasa memudar dalam hiruk-pikuk birokrasi.

Neni, seorang perempuan sederhana dengan mata yang menyiratkan lelah sekaligus keyakinan, berdiri di tengah kerumunan. Ia baru saja mengalami sesuatu yang tak pernah ia duga: pemberhentian mendadak, tanpa surat resmi, hanya sekadar perintah lisan yang mengguncang dunianya.
“Saya disuruh pindah ke Kemendikdasmen begitu saja,” ungkapnya dengan nada getir, namun penuh keteguhan.

Di sisi lain, suara Ketua Paguyuban Pegawai Dikti, Suwitno, turut melengkapi narasi yang bergema dalam aksi damai itu. Ia menduga ada kesalahpahaman, sebuah fitnah yang menjadi racun dalam sistem. “Ibu Neni dituduh menerima sesuatu, padahal ia tidak melakukannya,” ucapnya, mengguratkan keresahan kolektif yang mewakili seluruh pegawai di bawah naungan institusi tersebut.

Di antara teriakan yel-yel dan nyanyian Indonesia Raya yang menggetarkan, muncul sebuah pertanyaan besar: apakah keadilan masih menjadi prinsip yang dijunjung di negeri ini? Spanduk yang mengecam Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro terpampang jelas, sebuah sindiran tajam kepada sang pemimpin yang diangkat untuk memimpin perubahan, namun kini menjadi pusat kritik.

Sekjen Kemdiktisaintek, Togar M. Simatupang, berusaha menenangkan badai dengan pernyataan yang penuh kehati-hatian. “Tidak ada pemecatan mendadak. Dialog masih terbuka untuk solusi terbaik,” katanya. Namun, kata-kata itu seperti ombak kecil yang tak mampu memadamkan gelombang besar keresahan.

Di balik sorotan media dan gemuruh protes, ada fragmen kehidupan yang terpapar jelas—seorang pegawai biasa yang merasa tersisih, ratusan kolega yang berdiri mendampinginya, dan sebuah sistem yang kini dipertanyakan integritasnya.

Mereka tak hanya menuntut hak untuk Neni, tetapi juga menyuarakan jeritan hati atas perlakuan yang dirasa tak adil. Di tengah aksi itu, terselip harapan agar gema protes mereka sampai kepada Presiden Prabowo Subianto, sang pengangkat Menteri Satryo.

Sore itu, hujan turun pelan, membasahi jalanan yang masih dipenuhi semangat perlawanan. Namun, tak ada tanda mereka akan mundur. Dalam hati mereka, perjuangan ini bukan hanya soal Neni, tapi juga soal menjaga nilai-nilai kebenaran di dunia yang sering kali mengabaikannya.

Sosok Neni Herlina

Neni Herlina adalah Pranata Humas Ahli Muda Kemendikbudristek. Dia sudah lama di bidang public relation. Layaknya rumus geometri yang terurai sempurna di papan tulis, Neni Herlina melihat setiap strategi dan langkah komunikasi sebagai bagian dari formula rumit yang bisa disederhanakan dengan ketelitian dan kecermatan. Bagi Pranata Humas Ahli Muda Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ini, bidang komunikasi yang kerap harus menghubungkan pikiran dan hati manusia membutuhkan ketepatan seperti menghitung probabilitas dalam matematika.

Perumpamaan tersebut dengan manis bisa ia sampaikan karena memang pernah menjadi pengajar matematika. Adapun kiprah di dunia public relations (PR), kata alumnus jurusan Pendidikan Matematika dari Universitah Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka itu, terentang karena “terpaksa” menemani sang kawan mengikuti tes penerimaan calon humas menteri. “Awalnya cuma ingin menemani kawan yang punya latar belakang pendidikan PR, tetapi ketika mengikuti tes malah saya yang terkadang lebih tinggi nilainya,” ujarnya.

Menjajal dunia PR dengan latar belakang Pendidikan Matematika tidak begitu menyulitkan penikmat drama Korea ini. Sebagaimana telah disampaikan di awal, baginya komunikasi tak ubahnya bidang eksakta. Ia melihat adanya relevansi yang kental antara keduanya. “Di matematika itu diajarkan ogika berpikir. Ketika menemukan masalah, kita harus bisa mengidentifikasi lalu mencarikan beberapa alternatif solusi. Seperti halnya pekerjaan PR yang harus melakukan riset sebelum menyusun program komunikasi,” jelas pengagum sosok politikus perempuan Marwah Daud Ibrahim itu. (*)