HERALD.ID, JAKARTA – Langit mendung menggelayut di atas pesisir Tangerang, seperti mencerminkan suasana panas yang membayangi polemik pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer. Di tengah perdebatan sengit ini, sebuah unggahan di media sosial milik Jansen Sitindaon, Wasekjen Partai Demokrat, menambah lapisan baru pada kontroversi.

“Jangan ada yang mengaitkan HGB di pagar laut itu ke Ketua Umum kami, Mas Agus Yudhoyono (AHY),” tulis Jansen di akun X-nya. Ia menegaskan bahwa sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut telah diterbitkan sejak Agustus 2023, jauh sebelum AHY menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada Februari 2024.

Namun, pernyataan itu tidak meredakan gejolak. Aktivis lingkungan dan tata kota, Elisa, dengan tajam menanggapi langkah defensif Demokrat ini. Dalam sebuah catatan terbuka, ia mengkritik sikap partai dan meminta Menteri AHY untuk mengambil langkah proaktif, bukan sekadar menghindar dari tanggung jawab.

Jangan Defensif, Waktunya Transparansi

Bagi Elisa, argumen yang dilemparkan Demokrat hanya akan menambah polemik. “Tidak ada manfaatnya defensif seperti ini. Ini justru melemahkan kepercayaan publik terhadap AHY dan Demokrat,” tulisnya.

Ia menyoroti bahwa AHY, sebagai Menteri ATR/BPN, memegang tanggung jawab besar dalam pengelolaan tata ruang, terlebih setelah kawasan PIK 2—tempat pagar laut tersebut berdiri—ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada Mei 2024. Elisa mempertanyakan apakah kementerian telah melakukan evaluasi mendalam terkait proses penerbitan HGB tersebut.

HGB di Atas Laut, Bagaimana Prosesnya?

Elisa mengungkapkan kejanggalan dalam penerbitan HGB di area yang diduga hasil reklamasi. “Kalau memang itu reklamasi, seharusnya ada penerbitan Hak Pengelolaan terlebih dahulu kepada pemerintah daerah. Lalu, BPN wajib melakukan pengukuran di lapangan. Bagaimana bisa ada HGB tanpa proses ini?” tanyanya.

Ia juga meminta pemerintah memastikan transparansi akses publik terhadap data pertanahan, termasuk melalui situs BHUMI. “Jangan sampai aksesnya terganggu. Transparansi adalah kunci membangun kepercayaan,” tegasnya.

Kesempatan untuk Bersinar

Dalam catatannya, Elisa menawarkan saran konkret kepada AHY untuk menangani polemik ini. Ia meminta Menteri ATR/BPN untuk segera melakukan audit internal terhadap penerbitan HGB di kawasan tersebut, termasuk memeriksa kemungkinan maladministrasi. “Jika ada pelanggaran, cabut saja HGB-nya. Ini kesempatan AHY untuk membuktikan komitmennya pada integritas dan transparansi.”

Pernyataan AHY: Menegaskan Batas Wewenang

Di sisi lain, AHY juga telah memberikan pernyataan resmi terkait isu ini. Sebagai Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, ia menegaskan bahwa tata ruang wilayah laut berada di bawah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Kami tetap memantau, tetapi ini di luar koordinasi langsung Kemenko Infrastruktur,” jelasnya.

Meski demikian, AHY berjanji untuk mendukung investigasi bersama pemerintah daerah dan memastikan semua proses berjalan sesuai hukum. “Tidak boleh ada pelanggaran hukum dalam pembangunan ini,” tegasnya.

Dilema Politik dan Kebijakan Publik

Polemik pagar laut ini menjadi gambaran kompleksnya pengelolaan tata ruang dan agraria di Indonesia, di mana kepentingan politik, ekonomi, dan lingkungan sering kali berbenturan. Di tengah semua itu, publik menunggu langkah konkret dari pemerintah, khususnya Menteri AHY, untuk menunjukkan bahwa transparansi dan keadilan masih menjadi prinsip utama dalam pengelolaan negara.

Apakah AHY akan mampu mengubah tantangan ini menjadi momentum untuk bersinar, atau justru terjebak dalam bayang-bayang kontroversi? Jawabannya akan menentukan bukan hanya nasib pagar laut ini, tetapi juga kredibilitas pemerintah di mata rakyat. (*)