HERALD.ID, JAKARTA – Suasana malam di Jalan Widya Chandra, Jakarta Selatan, biasanya tenang dan hanya ditemani suara gesekan daun dan langkah penjaga malam. Namun, malam itu, berita mengguncang dari dunia maya. Rekaman suara pria yang terdengar marah-marah viral dengan narasi bahwa suara itu milik Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Dalam rekaman tersebut, terdengar suara seorang pria meluapkan kemarahan terkait air yang mati di rumah dinas. Suara itu penuh nada tinggi, diiringi bunyi benda yang dilempar. Lalu, terdengar seseorang yang disebut pekerja rumah tangga berkali-kali meminta maaf. Dunia maya riuh. Ada yang mengutuk, ada yang meragukan, dan ada yang mencari pembelaan.

Sanggahan di Balik Pintu Rumah Dinas

Senin malam itu, Satryo menerima tamu di rumah dinasnya. Wajahnya terlihat tegas, namun ada sorot mata yang menandakan kejengkelan bercampur kelelahan. Ketika ditanya oleh wartawan tentang rekaman viral tersebut, ia dengan suara rendah namun mantap menyatakan, “Itu bukan suara saya.”

Pernyataannya membawa berbagai reaksi. Ada yang percaya, ada pula yang tetap menaruh kecurigaan.

“Ada banyak cara untuk menjatuhkan seseorang di era digital ini,” ujar Satryo dengan nada datar, seolah menyindir siapa pun yang menyebarkan rekaman itu. Ia melanjutkan, “Saya tidak tahu apa motifnya, tapi yang jelas, ini fitnah.”

Riuh di Dunia Maya

Di media sosial, narasi berkembang liar. Ada yang membandingkan nada suara dalam rekaman dengan video pidato Satryo, berusaha menjadi “detektif” digital. Ada pula yang menuliskan kisah imajiner, membayangkan bagaimana air yang mati di rumah seorang pejabat tinggi bisa memicu ledakan amarah sebesar itu.

Di antara komentar netral dan dukungan, kritik juga berdatangan. Sebagian merasa bahwa bantahan saja tidak cukup. “Kalau itu bukan suara beliau, buktikan. Panggil ahli forensik suara,” tulis seorang warganet dengan tagar #BuktiAtauBantah.

Air yang Menjadi Simbol

Bagi sebagian orang, persoalan air di rumah dinas mungkin sepele. Namun, dalam narasi yang berkembang, air menjadi simbol ketidakpuasan terhadap para pemimpin. Ia melambangkan ketimpangan: fasilitas mewah bagi segelintir orang, tetapi masih banyak rakyat biasa yang kesulitan mendapatkan air bersih.

Malam itu, Satryo menutup pintu rumah dinasnya dengan tegas. Di dalam pikirannya, mungkin ada perdebatan: apakah ini badai kecil yang akan berlalu, atau awal dari gelombang yang lebih besar?

Di luar, Jakarta tetap melanjutkan malamnya. Namun, untuk Satryo, permasalahan air kini berubah menjadi metafora, sebuah ujian tak terduga di tengah karier yang ia bangun dengan penuh perjuangan. (*)