HERALD.ID, JAKARTA–Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Umbu Kabunang Rudi Yanto Hunga, menyampaikan kekhawatirannya terkait rencana pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi.
Menurutnya, ada ribuan kampus di Indonesia dan pemberian izin tambang tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
“Bagaimana pemerintah bisa memberikan kewenangan kepada universitas atau perguruan tinggi, yang jumlahnya ribuan di Indonesia? Ini bisa memunculkan masalah baru,” ujar Umbu dikutip dari dpr.go.id, Selasa (21/1/2025).
Bagi Umbu, keputusan ini kurang tepat jika tujuan pemerintah adalah mendukung peningkatan mutu pendidikan di perguruan tinggi. Ia mengusulkan bahwa bantuan dana langsung lebih relevan untuk mendukung kualitas pendidikan.
“Sepanjang kita belum mengatur bagaimana undang-undang terkait universitas atau perguruan tinggi disesuaikan dengan pengelolaan tambang, maka hal ini berpotensi menimbulkan persoalan,” tegasnya.
Anggota Baleg lainnya, Al Muzzammil Yusuf, mengingatkan agar perubahan UU Minerba dilakukan secara cermat guna menghindari potensi permasalahan hukum di masa mendatang.
“Saya kira kita semua sepakat bahwa pemanfaatan minerba sangat penting untuk pembangunan masyarakat, pembukaan lapangan kerja, dan hilirisasi. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak memunculkan persoalan baru yang nantinya bisa digugat di Mahkamah Konstitusi (MK),” tegas Al Muzzammil.
Relevansi pemberian wewenang pertambangan kepada perguruan tinggi juga ia pertanyakan mengingat Tridharma Perguruan Tinggi hanya mencakup pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyatakan bahwa Baleg membuka peluang bagi pemerintah untuk memberikan WIUPK tidak hanya kepada badan usaha atau ormas keagamaan, tetapi juga kepada perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM).
Hal ini rencananya akan diatur dalam tambahan Pasal 51A UU Minerba. Pasal 51A ayat (1) menyebutkan bahwa WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Selanjutnya, Pasal 51A ayat (2) mengatur bahwa salah satu syarat perguruan tinggi yang dapat menerima WIUP adalah memiliki akreditasi minimal B.
Sementara itu, Pasal 51A ayat (3) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pemberian WIUP kepada perguruan tinggi akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). “Kami tidak ingin produk hukum ini menjadi sumber masalah baru bagi pemerintah,” pungkas Umbu. (ilo)