HERALD.ID, SORONG – Langit Sorong pada senja itu terasa lebih gelap dari biasanya, seolah alam pun turut menangisi tragedi yang melibatkan seorang prajurit muda TNI AL, Kelasi Satu Agung Suyono Wahyudi Ponidi (23), dan seorang perempuan bernama Kesia Irena Yola Lestaluhu (20). Di bawah terik matahari siang yang berangsur mereda, rekonstruksi kasus pembunuhan yang mencengkeram perhatian publik digelar di Lantamal XIV Sorong.

Di hadapan para saksi, penasihat hukum, dan keluarga korban, Agung memperagakan 24 adegan yang menggambarkan detik-detik aksi kejamnya. Lima saksi hadir, kecuali seorang teman dekat Kesia yang tak mampu datang. Setiap langkah dan gerak tubuh Agung menjadi penggambaran pilu yang menusuk hati mereka yang menyaksikan.

Ibu Kesia, Aminah, tak mampu menahan tangis. Ia meneriakkan tuduhan yang mencerminkan duka dan kecurigaan mendalam.

“Kamu tidak melakukannya sendiri! Katakan siapa yang membantumu!” serunya, suaranya menggema di antara denting kesunyian dan derai air matanya.

Baginya, ada kejanggalan yang tak terjawab. Kesia ditemukan tanpa busana lengkap, sementara pakaian dalamnya masih melekat. Namun celana pendek dan bajunya hilang, menyisakan pertanyaan yang menggantung di udara.

Ketika tiba giliran Agung untuk memerankan momen paling kelam, ia menangis. Air matanya mengalir deras, seolah membanjiri naskah yang telah ia tulis dengan darah. Pada adegan ke-21, ia mengisahkan bagaimana ia menghentikan mobil, melakukan hubungan seksual, dan akhirnya membunuh

“Saya panik,” katanya, suaranya pecah di tengah rekonstruksi.

Ia mengaku membunuh karena takut dilaporkan ke kesatuan militer. Namun, motif itu terasa kabur, dibalut oleh alibi yang berlapis. Ketakutan itu, katanya, lahir dari ancaman kehilangan statusnya sebagai prajurit, sebuah harga diri yang tak sebanding dengan nyawa Kesia.

Agung kini menghadapi ancaman hukuman berat di bawah Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Pemecatan tak hormat telah diusulkan, mencabut seragam yang pernah menjadi simbol kehormatan.

Bagi keluarga Kesia, keadilan adalah suara yang harus menggema hingga ke telinga tertinggi, hingga ke Presiden, seperti yang Aminah harapkan.

Pantai Sorong, yang menjadi saksi bisu dari kisah kelam ini, mungkin akan tetap berdiri tenang. Namun di balik desiran ombaknya, ia menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk diungkapkan. Sebuah tragedi yang menuntut jawaban dan pengakuan dari semua yang terlibat. (*)