HERALD.ID, YOGYAKARTA – Di bawah langit Yogyakarta yang selalu terasa akrab, sebuah musala sederhana di Kotagede menjadi saksi bisu sebuah peristiwa yang lebih memilukan daripada marah. Sabtu siang itu, saat azan zuhur telah berlalu dan suasana musala kembali lengang, seorang pria berjongkok di depan kotak infak yang diam-diam memanggil.
Pria itu, HR (45), bukanlah pencuri kawakan dengan rencana licik. Dengan tangan gemetar dan sebatang lidi yang telah diolesi getah nangka, ia mengais-ngais rezeki kecil di balik kaca kotak infak. Tak lebih dari Rp35 ribu yang ia ambil. Uang yang, dalam kebutuhannya, bukan sekadar lembaran rupiah—itu adalah janji makan malam, harapan untuk bertahan sehari lagi.
Namun, apa yang ia kira sebagai aksi sunyi, ternyata telah direkam kamera pengawas. Video itu mengalir ke jagat media sosial, ke akun-akun yang kerap menyorot kehidupan di sudut-sudut Yogyakarta. Dua pengurus musala, RH (60) dan AS (43), mengenali lokasi dalam video itu. Dan dari situ, roda keadilan pun bergulir.
Kapolsek Kotagede Yogyakarta, Basungkawa segera bergerak bersama anggota. Setelah bertemu dengan para pengurus musala untuk mengumpulkan informasi, tim kepolisian akhirnya menemukan HR pada Minggu malam, duduk termenung di kompleks Masjid Gede Mataram. Di hadapan aparat, ia tak melawan, hanya membenarkan semuanya dengan suara lemah.
“Buat makan,” katanya pelan, dengan kepala menunduk.
Ketika kebenaran terungkap, bukan amarah yang mengiringinya. Pada hari Senin, pengurus musala mendatangi Polsek Kotagede dengan membawa sesuatu yang jarang ditemukan dalam catatan hukum: keikhlasan.
“Kami memaafkan,” ujar mereka dengan tegas. Uang Rp35 ribu itu telah mereka anggap hilang, tak lagi penting untuk diperdebatkan. Keputusan itu adalah hasil dari diskusi bersama, sebuah bentuk belas kasih yang menyentuh.
Kisah HR bukan hanya tentang pelanggaran kecil di sebuah musala. Ia adalah potret kehidupan yang keras, tempat seseorang harus mengandalkan lidi dan getah untuk mendapatkan makan. Di luar sana, banyak yang mungkin tak perlu berpikir dua kali untuk mengisi piring mereka. Namun, bagi HR, itu adalah perjuangan yang memakan harga dirinya sendiri.
Langit Kotagede malam itu tetap teduh seperti biasa, meski hati seseorang mungkin sedang dipenuhi kehangatan atau luka. Musala itu, dengan keikhlasannya, menjadi pengingat bahwa di balik kesalahan kecil, sering kali ada kemiskinan yang tak tampak dan harapan yang tak terdengar. (*)
Penulis: Olivia Rianjani