HERALD.ID, JAKARTA – Neni Herlina berdiri di tengah kerumunan rekan-rekannya di Gedung Kementerian Dikti Saintek, Senin, 20 Januari 2025. Seragam hitam yang dikenakan ratusan ASN itu seperti simbol duka atas apa yang mereka alami. Di depan kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek), Jalan Jenderal Sudirman, suara protes menggema, menembus dinginnya pagi yang berembus dari gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya.

Neni, seorang pegawai yang sehari-hari bertugas mengurus rumah tangga kementerian, membuka suara di hadapan media. Wajahnya lelah, suaranya tegas namun bergetar, menahan emosi yang terpendam lama. “(Kasus) meja itu sebenarnya dia mau ganti. Tapi ucapannya, enggak menghargai,” katanya, mencoba menjelaskan akar mula konflik yang membuatnya merasa kecil di institusi yang seharusnya menjunjung tinggi martabat pegawai.

Awal Mula dari Meja

Cerita bermula dari ruang kerja sementara di Lantai 10, Gedung D. Ruang itu, yang masih dihiasi sisa-sisa furnitur era Dirjen sebelumnya, menjadi alasan awal Satryo Soemantri Brodjonegoro, sang menteri baru, melontarkan ancaman pertama. “Ruangan beliau itu kan sebenarnya sedang kita buat di Lantai 10. Itu ruang sementara, dan peralatannya itu bekas Dirjen dulu,” urai Neni, dengan nada getir.

Menurut Neni, masalah meja hanyalah permukaan. Di balik itu, ada sikap arogan yang semakin terasa dengan ancaman pemecatan. “Ini kesalahan pertama ya, kalau kedua kali nanti saya pecat kamu,” kenang Neni, menirukan kata-kata yang dilemparkan sang menteri kepadanya.

Ancaman di Hari Jumat

Ancaman demi ancaman akhirnya mencapai puncaknya di Jumat pekan lalu. “Itu yang sampai mengusir ya,” ucap Neni, mengingat momen ketika kata-kata kasar yang diiringi ancaman pemecatan menghujani dirinya. Bagi Neni, kejadian itu bukan hanya persoalan otoritas, tapi juga penghinaan terhadap kerja kerasnya.

Remeh-Temeh yang Menyesakkan

Apa yang dialami Neni, baginya, bukanlah soal substansi kebijakan atau langkah besar untuk pendidikan tinggi. “Sebenarnya bukan persoalan substansi pendidikan tinggi. Saya sebenarnya tidak menyalahkan hal seperti itu. Tapi hal remeh-temeh itu,” katanya, sambil menekankan bahwa sikap arogan dan otoriter menteri telah membuat suasana kerja penuh tekanan.

Harapan di Tengah Ketegangan

Saat Neni menutup wawancaranya, ratusan pegawai yang berdiri di belakangnya memberikan tepuk tangan perlahan, seakan menguatkan dirinya. “Kami hanya ingin dihormati, bukan diancam,” kata seorang ASN lain yang berdiri di sampingnya.

Langit yang mendung tak kunjung cerah. Di dalam gedung kementerian, bayangan kekuasaan Satryo masih menghantui. Tapi di luar sana, di tengah kerumunan para pegawai, ada secercah harapan bahwa suara mereka akan didengar. Bahwa hari Jumat kelabu itu hanyalah awal dari sebuah perubahan yang mereka perjuangkan. (*)