HERALD.ID, JAKARTA – Jakarta pagi itu diguyur hujan rintik, namun langit mendung tak menghalangi puluhan pegawai berseragam hitam berkumpul di depan gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Mereka berdiri teguh di bawah spanduk bertuliskan protes tajam: “Institusi Negara, Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri!”

Di balik kerumunan itu, suara Neni Herlina, seorang Pranata Humas Ahli Muda sekaligus Penanggung Jawab Rumah Tangga Kemendikti, menggema lebih keras daripada megafon. “Kalau mau saya bilang, attitude Ibu Menteri ini juga disayangkan. Sekelas Ibu Menteri, kalau bicara itu kasar,” ungkap Neni kepada media, dengan wajah lelah namun penuh tekad.

Bayang-Bayang di Balik Arogansi

Bukan hanya Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro yang menjadi sorotan. Menurut Neni, sang istri, yang namanya menjadi pembicaraan hangat di kalangan pegawai, turut berkontribusi dalam menciptakan suasana kerja yang tegang. “Dominasi ibu itu sangat besar terhadap bapak. Bahkan beliau sering mengancam pemecatan kalau pegawai tidak menuruti perintahnya,” ujar Neni sambil menggelengkan kepala.

Ia mencontohkan salah satu momen pahit. “Bu Neni dikasih uang sama Dirjen, ya?” kata sang istri kepada Neni, nada sinis terdengar jelas dalam ingatannya. Tuduhan itu, bagi Neni, bukan sekadar perkataan tanpa dasar; itu fitnah. Dan fitnah, katanya, lebih tajam daripada pedang.

Seragam Hitam dan Pesan yang Menghujam

Di luar gedung, spanduk lain berdiri seperti tombak yang menusuk kebekuan birokrasi. “Pak Presiden, selamatkan kami dari Menteri pemarah, suka main tampar, dan main pecat!” tulis salah satu pesan yang tak bisa diabaikan.

Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru dari P2G, mengabadikan momen itu melalui akun media sosialnya. Foto-foto itu tersebar cepat, menjadikan aksi ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan pesan nasional yang menggugah perhatian.

Sikap yang Memupuk Protes

Neni, yang telah lama menjadi bagian dari struktur kementerian, mengakui bahwa kejadian ini tidak datang tiba-tiba. “Arogansi itu bukan cuma soal gaya bicara atau perintah. Tapi soal bagaimana kekuasaan digunakan tanpa rasa hormat terhadap orang-orang yang bekerja di bawahnya.”

Neni menambahkan, ancaman pemecatan dan tuduhan tak berdasar sering kali datang dari sang istri, mempertegas dominasi yang mengakar kuat di balik kekuasaan Satryo. Bagi pegawai, ini bukan lagi soal pekerjaan; ini soal martabat.

Harapan di Tengah Kegelapan

Demo ini, meski diliputi rasa frustrasi, tetap menyisakan harapan. Para pegawai percaya bahwa suara mereka akan sampai ke Istana, dan Presiden akan turun tangan. “Kami hanya ingin bekerja dengan damai, tanpa tekanan,” kata salah seorang peserta aksi yang enggan disebutkan namanya.

Langit mendung Jakarta perlahan mulai cerah. Namun, di dalam gedung Kemendikti, awan gelap masih menggantung. Apakah ini akan menjadi awal perubahan, atau justru awal dari konflik yang lebih besar? Semua mata kini tertuju pada Menteri Satryo, istrinya, dan tentu saja, Presiden yang menjadi harapan terakhir para pegawai ini. (*)