HERALD.ID, JAKARTA – Senja baru saja berlalu, meninggalkan bayangan temaram di Jalan Widya Chandra. Di dalam rumah dinasnya, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, duduk di ruang tamu yang hangat diterangi lampu temaram. Di hadapannya, dua tokoh aksi demonstrasi pagi tadi, Neni Herlina dan Suwitno, duduk dengan wajah tegang namun penuh rasa ingin tahu.
“Kita tidak memecat siapa pun,” ujar Satryo membuka pembicaraan. Nadanya tegas, namun ada kelembutan yang berusaha menenangkan. Ia menyadari, pagi tadi kementeriannya sempat bergolak. Pegawai yang merasa tidak puas dengan kebijakan mutasi menggelar aksi protes, membawa spanduk dan menyuarakan keresahan mereka.
Konteks yang Terlupakan
Satryo menjelaskan, aksi pagi tadi tidak lepas dari salah paham. Kementeriannya sedang dalam proses restrukturisasi besar-besaran, dampak dari transisi dari Kemendikbudristek menjadi Kemendiktisaintek. Perubahan ini, katanya, tidak hanya menyangkut nama, tetapi juga sistem kerja dan penempatan pegawai.
“Mutasi dan rotasi adalah hal wajar di sebuah institusi, baik pemerintah maupun swasta,” katanya, menegaskan bahwa langkah tersebut bukan bentuk hukuman, melainkan penyesuaian untuk memastikan kompetensi yang tepat pada posisi yang tepat.
Namun, perubahan besar ini, seperti diakuinya, tentu tidak bisa menyenangkan semua pihak. “Ada yang merasa penempatan mereka tidak sesuai dengan keinginan,” ujar Satryo sambil melirik Neni, yang mengangguk pelan.
Salah Paham yang Terselesaikan
Dalam pertemuan itu, dialog berjalan panjang. Suwitno, yang mewakili para pegawai lainnya, mengungkapkan kegelisahan mereka: ketidakjelasan komunikasi. Neni, di sisi lain, mengaku merasa “terusir” dari posisinya, meskipun secara resmi tidak ada surat pemecatan.
“Dengan penjelasan Bapak, kami baru paham,” kata Neni akhirnya. Wajahnya yang semula tegang perlahan melunak. Ia meminta maaf atas kekeliruan persepsi yang berujung pada demonstrasi pagi tadi.
Sebuah Awal Baru
Satryo menutup malam itu dengan pesan penuh harapan. “Marilah kita bersama-sama menjadikan kementerian ini sebagai institusi yang dapat dipercaya masyarakat,” ujarnya. Kata-katanya sederhana, namun menyiratkan tekad untuk membangun ulang kepercayaan yang sempat terguncang.
Ketika Neni dan Suwitno melangkah keluar, udara malam Jakarta terasa lebih ringan. Bagi mereka, malam itu bukan hanya tentang klarifikasi, tetapi juga pelajaran berharga: komunikasi adalah jembatan, bukan dinding.
Sementara itu, di balik pintu rumah dinas, Satryo duduk kembali. Ia tahu, perjalanan restrukturisasi ini masih panjang, dan tantangan seperti hari ini mungkin akan kembali datang. Namun, ia percaya, dialog dan keterbukaan adalah kunci untuk melewati semuanya. (*)