HERALD.ID, WASHINGTON – Hari itu, di depan Capitol yang menjulang megah, Donald Trump berdiri gagah dengan jas hitam dan dasi ungu. Rakyat Amerika menanti dalam diam yang penuh harap, menyaksikan seorang pemimpin baru mengucap sumpah untuk memimpin negara adidaya ini. Namun, sebuah momen kecil dalam detik-detik bersejarah itu mengundang tanda tanya besar.
Saat sumpah jabatan dikumandangkan, tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad terlihat berbeda. Kamera-kamera menangkap Trump berdiri tanpa meletakkan tangannya di atas Alkitab. Gerakan itu, atau ketiadaannya, menyulut diskusi hangat, spekulasi, dan berbagai tafsir di seluruh negeri.
Di ruang-ruang berita hingga forum daring, pertanyaan yang sama menggema: apa artinya? Bagi sebagian orang, tindakan itu mencerminkan sikap acuh atau bahkan penghinaan terhadap tradisi. Namun, bagi yang lain, ini hanyalah kebetulan, sebuah detail kecil yang tak layak dibesar-besarkan.
Jeremi Suri, seorang Profesor Sejarah dari University of Texas yang juga pakar kepresidenan, memberikan pandangannya yang jernih dan tenang. “Tidak ada dalam Konstitusi yang mengatakan bahwa presiden harus menghubungkan sumpahnya dengan Tuhan,” katanya. Suri menegaskan, sumpah jabatan adalah janji kepada Konstitusi, bukan kepada agama tertentu. Bahkan, para pendiri Amerika, katanya, dengan sengaja membuka ruang bagi mereka yang tak percaya pada Tuhan untuk memegang jabatan tertinggi di negeri ini.
Sejak George Washington hingga Joe Biden, tangan yang diletakkan di atas Alkitab telah menjadi simbol ikatan spiritual seorang presiden dengan tugasnya. Namun, Trump, yang sering kali membentuk jalannya sendiri, tampaknya memilih jalur yang berbeda—baik disengaja maupun tidak.
Bagi sebagian besar rakyat Amerika, mungkin momen ini tak lebih dari sekadar gestur simbolis yang dilewati begitu saja. Namun, bagi sekelompok kecil yang terikat erat dengan tradisi, ini adalah pertanyaan besar tentang identitas moral dan spiritual seorang pemimpin.
Langit di atas Washington perlahan memudar dari biru cerah ke jingga senja. Di tengah gemuruh spekulasi dan opini, satu hal tetap jelas: sumpah jabatan tetap sah, dengan atau tanpa Alkitab. Karena pada akhirnya, tugas seorang presiden adalah untuk memimpin dengan hati dan pikiran, bukan hanya dengan gestur yang tertangkap kamera.
Seperti Amerika yang terus mencari jalan di tengah zaman yang berubah, momen ini menjadi pengingat bahwa simbolisme sering kali hanya menjadi pintu masuk untuk diskusi yang lebih besar. Dan mungkin, di balik tanda tanya besar ini, tersimpan pelajaran penting tentang kebebasan, toleransi, dan semangat Konstitusi yang terus hidup. (*)