HERALD.ID, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan akhir pekan ini diperkirakan bergerak fluktuatif, namun ditutup melemah. Rupiah berada di rentang Rp16.270 hingga Rp16.350 per dolar AS. 

Mengutip Bloomberg, pada Kamis 23 Januari 2025, rupiah melemah 4 poin atau 0,03% ke level Rp16.283,5 per dolar AS.

Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,19% ke posisi 108,36, yang menandai tekanan terhadap sejumlah mata uang di Asia.

Yen Jepang tercatat melemah 0,05%, yuan China turun 0,14%, won Korea merosot 0,31%, rupee India melemah 0,21%, ringgit Malaysia 0,36%, dan baht Thailand 0,32%.

Menurut pengamat forex Ibrahim Assuaibi, tekanan terhadap rupiah dipengaruhi oleh dinamika global, termasuk kebijakan Presiden AS Donald Trump yang baru dilantik. 

Trump mengisyaratkan rencana pengenaan tarif 10% terhadap impor dari China mulai 1 Februari 2025. 

Selain itu, ia juga mengancam tarif serupa terhadap Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko, serta sanksi baru untuk Rusia jika tidak segera menghentikan perang di Ukraina.

“Trump bahkan menyatakan pemerintahannya sedang membahas tarif sebesar 10% terhadap China karena dugaan pengiriman fentanil ke AS. Ia juga mengumumkan keadaan darurat energi nasional yang memungkinkan pemerintahannya mempermudah proyek infrastruktur energi,” ujar Ibrahim dalam keterangan tertulis, yang dikutip Jumat 24 Januari 2025.

Meski demikian, Ibrahim menekankan bahwa beberapa analis masih skeptis terhadap kemungkinan peningkatan signifikan dalam produksi minyak AS dalam waktu dekat.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) tetap optimistis terhadap kinerja perekonomian Indonesia di tahun 2025.

BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada di rentang 4,7% hingga 5,5%, dengan potensi meningkat pada 2026 menjadi 4,8% hingga 5,6%.

Inflasi nasional diperkirakan akan tetap terkendali dalam target BI sebesar 2,5% ±1%, sementara stabilitas nilai tukar rupiah dijaga sesuai dengan fundamental ekonomi. 

Sebagai langkah strategis, BI baru-baru ini menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%.

Kebijakan ini bertujuan memberikan stimulus tambahan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal.

Selain itu, BI menegaskan pentingnya digitalisasi di berbagai sektor, termasuk sistem keuangan mikro dan transaksi keuangan pemerintah, guna mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. (Ren)