HERALD.ID, MOSKOW – Dalam dinamika geopolitik yang terus memanas, Kremlin mengisyaratkan kesiapan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk berdialog dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Pernyataan ini menegaskan keterbukaan Rusia terhadap kemungkinan diplomasi baru, meski bola kini berada di tangan Gedung Putih.
“Putin sudah siap. Kami hanya menunggu sinyal dari AS,” ujar juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat, 24 Januari 2025.
Hubungan antara Trump dan Putin, meski kontroversial, telah mencatat sejarah dalam pertemuan bilateral mereka sebelumnya, termasuk di Helsinki tahun 2018. Kini, dengan isu perang Ukraina sebagai fokus utama, kedua pemimpin mengindikasikan kesediaan untuk bertemu dan membahas solusi.
Namun, retorika keras Trump yang mengancam Rusia dengan sanksi ekonomi lebih berat jika tidak menghentikan perang di Ukraina, menciptakan ketegangan tersendiri. “Konflik ini tidak bergantung pada harga minyak,” bantah Peskov, merujuk pada klaim Trump di Forum Ekonomi Dunia (WEF) bahwa penurunan harga minyak dapat mengakhiri perang.
Ukraina: Pusat Ketegangan Global
Dalam dialog yang direncanakan, Ukraina menjadi isu sentral. Moskow menegaskan bahwa konflik ini bukan semata soal ekonomi, melainkan menyangkut keamanan nasional Rusia dan perlindungan terhadap warga Rusia di Ukraina.
“Ancaman terhadap keamanan nasional Rusia dan penolakan negara-negara Barat untuk mendengarkan kekhawatiran kami menjadi akar permasalahan,” tegas Peskov.
Peskov menolak berspekulasi soal kemungkinan pertemuan ini, menyebut prediksi semacam itu serupa dengan “membaca ampas kopi.” Meski begitu, Kremlin jelas menunggu langkah konkret dari Washington untuk membuka jalur komunikasi.
Kesediaan Putin dan Trump untuk berdialog mencerminkan harapan tipis akan diplomasi di tengah meningkatnya ketegangan global. Namun, dengan sanksi, ancaman, dan klaim yang saling bertentangan, jalan menuju meja perundingan tampak penuh ranjau.
Apakah dialog ini mampu menjadi jembatan menuju perdamaian, atau justru menjadi babak baru dalam rivalitas global? Semua kini bergantung pada sinyal dari Gedung Putih, dan apakah dunia siap mendukung diplomasi di atas konfrontasi. (*)