HERALD.ID, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto kembali mengguncang dinamika birokrasi Indonesia dengan kebijakan penghematan besar-besaran, memotong anggaran hingga Rp300 triliun.
Fokus utamanya? Memberikan prioritas pada rakyat kecil melalui program makan siang bergizi gratis.
Langkah radikal ini dipandang sebagai upaya nyata untuk memerangi kemiskinan, namun juga memunculkan kegelisahan di kalangan pejabat dan menteri yang berasal dari partai politik.
Langkah penghematan ini terlihat nyata melalui berbagai pemotongan, termasuk perjalanan dinas, pengadaan kendaraan, hingga penggunaan fasilitas kantor yang dinilai tidak esensial.
Menurut Pengamat politik, Rocky Gerung, kebijakan ini menunjukkan keberanian Prabowo dalam mengubah arah alokasi APBN dari kepentingan birokrasi menuju kesejahteraan masyarakat.
“Pesta sudah berakhir bagi para birokrat dan pejabat. Sekarang, APBN harus sepenuhnya untuk rakyat,” ujar Rocky.
Namun, di balik kabar baik ini, muncul keluhan dari beberapa menteri, terutama yang berasal dari partai politik.
Mereka mengaku kesulitan karena anggaran yang kini sangat terbatas. Bahkan, Rocky menyebut, beberapa partai mungkin mulai menyesal mengirimkan kadernya ke kabinet, karena target finansial politik mereka terhambat.
Program makan siang gratis yang menjadi andalan Presiden Prabowo ini bukan sekadar langkah populis, tetapi bagian dari strategi besar dalam mengatasi kemiskinan.
Anggaran yang dialokasikan diharapkan bisa menjangkau 15 juta anak sekolah di daerah-daerah miskin. Kisah-kisah menyentuh pun bermunculan, seperti anak SD yang membawa pulang makan siangnya untuk keluarga yang kelaparan.
“Ini adalah cerminan dari betapa parahnya kemiskinan yang terjadi saat ini,” tambah Rocky.
Namun, Rocky juga mengingatkan bahwa program ini perlu dijadikan kebijakan yang berkelanjutan, bukan hanya sekadar solusi jangka pendek.
“Pemotongan anggaran harus diarahkan pada efisiensi yang nyata, bukan sekadar langkah temporer,” ujarnya.
Kebijakan ini, meskipun pro-rakyat, juga menjadi ujian besar bagi soliditas kabinet. Rocky menilai bahwa beberapa kementerian saat ini hanya duduk-duduk tanpa arah yang jelas karena anggaran mereka dipangkas signifikan.
“Beberapa kementerian bahkan belum punya staf atau gedung sendiri, ini menunjukkan kurangnya perencanaan sejak awal,” tegasnya.
Tak hanya itu, evaluasi terhadap struktur kabinet juga mulai muncul sebagai dampak dari kebijakan penghematan. Rocky menyarankan agar beberapa kementerian disatukan kembali untuk menghemat anggaran operasional.
“Kabinet yang besar itu mahal dan kurang efisien. Dengan kondisi APBN yang cekak, perampingan kabinet harus dilakukan,” tambahnya.
Di tengah dinamika politik dan ekonomi global, termasuk dampak dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok, langkah Presiden Prabowo ini menjadi sorotan.
“Prabowo sedang menetapkan standar baru, bahwa keberpihakan kepada rakyat lebih utama daripada kepentingan politik birokrasi,” pungkas Rocky. (*)