HERALD.ID, JAKARTA–Serangga diusulkan menjadi salah satu menu alternatif dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang jadi program andalan Prabowo-Gibran.

Usulan itu datang langsung dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana. Menurutnya, serangga bisa digunakan sebagai menu di sejumlah daerah yang sudah terbiasa mengonsumsinya.

Sontak, usulan tersebut menuai sorotan dari berbagai pihak, termasuk dari Ekonom Indef, Nailul Huda, yang menilai anggaran yang tersedia belum maksimal untuk memastikan kualitas gizi yang optimal.

Huda menyoroti pemangkasan anggaran MBG dari Rp15 ribu menjadi Rp10 ribu per porsi yang berpotensi mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan.

“Untuk program makan bergizi gratis, ada standar yang harus dipenuhi oleh penyedia, yaitu bergizi dengan anggaran terbatas. Jika tidak, maka namanya bukan makan bergizi gratis,” ujar Huda kepada Inilah.com, Senin (27/1/2025).

Terkait usulan serangga sebagai sumber protein di beberapa daerah, Huda mengaku ragu apakah ide tersebut dapat diterapkan secara efektif. Ia menilai serangga bukanlah makanan yang umum dikonsumsi oleh anak-anak, sehingga perlu kajian lebih lanjut terkait penerimaan masyarakat.

“Saya ragu apakah ide ini bisa diimplementasikan atau tidak, mengingat serangga bukan makanan yang lazim bagi anak-anak. Kita tidak bisa memukul rata daerah tertentu untuk makan serangga sebagai protein,” tegasnya.

Menu MBG tegas dia seharusnya mempertimbangkan selera anak-anak serta ketersediaan bahan makanan lokal yang teruji secara gizi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Sebelumnya, Kepala BGN, Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa menu MBG tidak memiliki standar nasional yang baku, melainkan berfokus pada komposisi gizi yang disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal di masing-masing daerah.

“Jika di suatu daerah banyak telur, maka telur yang menjadi sumber protein utama. Jika ikan lebih melimpah, maka ikan yang menjadi pilihan,” ungkap Dadan dalam acara di Jakarta, Sabtu (25/1/2025).

Ia mencontohkan bahwa beberapa daerah di Indonesia, seperti Halmahera Barat, terbiasa mengonsumsi singkong dan pisang rebus sebagai sumber karbohidrat utama, sehingga menu MBG di daerah tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

“Program ini mengakomodasi keberagaman pangan, sehingga masyarakat tetap bisa mendapatkan asupan gizi sesuai dengan kebiasaan makan mereka,” tambahnya.

Huda mengingatkan bahwa tantangan terbesar program MBG adalah memastikan setiap porsi makanan yang diberikan tetap memenuhi standar gizi, meskipun anggaran yang tersedia terbatas.

“Penyedia harus memastikan bahwa meskipun anggarannya terbatas, kualitas gizi tetap terjaga. Jika tidak, esensi dari program ini akan hilang,” tegasnya.

Program MBG diharapkan dapat memberikan solusi bagi persoalan gizi di Indonesia, terutama dalam upaya menekan angka stunting dan malnutrisi di kalangan anak-anak sekolah. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kebijakan yang matang dan perencanaan anggaran yang lebih maksimal.

“Kita harus memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi muda Indonesia,” pungkas Huda. (ilo)