HERALD.ID, JAKARTA — Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) secara mengejutkan memberhentikan Ubedillah dari jabatannya sebagai Ketua Departemen Ilmu Sosiologi, meskipun masa jabatannya seharusnya masih berlangsung hingga 2027.

Tidak ada penjelasan resmi mengenai alasan pemberhentiannya, namun banyak pihak menduga bahwa keputusan ini berkaitan dengan sikap kritisnya terhadap mantan Presiden Joko Widodo dan keluarganya.

Ubedillah selama ini dikenal vokal dalam mengkritik potensi gratifikasi yang melibatkan anak-anak Jokowi.

Bahkan, ia pernah melaporkan dugaan kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun laporan itu tidak ditindaklanjuti.

Pemberhentiannya dari jabatan akademik ini memunculkan anggapan bahwa ada upaya untuk membungkam suara kritis di dunia kampus.

Menurut Pengamat politik, Rocky Gerung, langkah ini mencerminkan ketakutan terhadap kebebasan akademik.

“Seharusnya, kampus menjadi ruang bagi pemikiran kritis, bukan malah menjadi alat untuk meredam kritik terhadap kekuasaan,” ujarnya.

Selain itu, kondisi di UNJ semakin memanas karena ketidakpuasan di kalangan dosen terhadap pemerintah.

Salah satu pemicunya adalah tunjangan kinerja yang belum dibayarkan selama lima tahun terakhir. Situasi ini memicu rencana demonstrasi oleh dosen dari berbagai universitas di Indonesia.

“Selama ini, dosen mungkin tidak terbiasa turun ke jalan seperti buruh. Tapi, ketidakadilan yang mereka rasakan sudah cukup untuk membuat mereka sadar bahwa mereka pun punya hak untuk memperjuangkan kesejahteraan,” tambah Rocky.

Pemberhentian Ubedillah juga menjadi sorotan dalam konteks pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Banyak yang berharap bahwa pemerintahan saat ini dapat membuktikan diri berbeda dari sebelumnya, terutama dalam hal transparansi dan kebebasan akademik.

“Dosen tidak hanya berfungsi sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pengawas kebijakan publik. Jika kritik akademik terus direpresi, maka kita akan kehilangan fungsi intelektual yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi,” lanjut Rocky.

Di tengah polemik ini, muncul dorongan agar Presiden Prabowo turut meninjau kembali laporan-laporan yang pernah disampaikan Ubedillah.

Publik berharap bahwa ada keberanian untuk menegakkan transparansi, termasuk dalam kasus-kasus yang melibatkan pejabat dari pemerintahan sebelumnya.

“Jika Prabowo ingin menunjukkan bahwa pemerintahannya berbeda, ini saatnya untuk membuka kembali laporan-laporan tersebut dan membuktikan bahwa hukum masih berlaku untuk semua,” tutup Rocky. (*)