HERALD.ID, JAKARTA–Langkah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menghapus mata rantai pengecer dalam pendistribusian elpiji (LPG) 3 Kg jadi sorotan.. Ia dicap tidak pro rakyat kecil.

Setelah banjir hujatan, Ketum Partai Golkar meralat ucapannya dengan mengklaim maksud dari kebijakannya adalah menaikan status pengecer menjadi sub pangkalan. Dia juga menjamin perubahan ini akan dibarengi dengan persyaratan yang mudah.

“Caranya bagaimana sekarang adalah kita yang pengecer, supaya mereka bisa mendapatkan fasilitas bisa kita tahu harganya berapa yang dijual, dan kepada siapa saja maka kita naikkan menjadi sub pangkalan dengan persyaratan yang tidak susah,” ujar Bahlil di Jakarta, dikutip Selasa (4/1/2025).

Yang lucu, Bahlil tak bisa menjelaskan bagaimana skema perubahan pengecer menjadi sub pangkalan. Dia mengaku baru akan berdiskusi dengan PT Pertamina untuk membahas kebijakan serta aturan sub pangkalan.

“Saya nanti rapat dengan Pertamina habis ini langsung kita maraton. Kalau memang pengecer-pengecer yang sekarang sudah bagus-bagus, sudah kita kasih dulu izin sementara untuk kita naikkan sebagai sub pangkalan tanpa biaya, enggak usah pakai biaya-biaya,” ujarnya.

Sebelum mengeluarkan wacana sub pangkalan, Bahlil sempat menyatakan pengecer akan dinaikan statusnya menjadi pangkalan. Rupanya syaratnya cukup sulit dan membutuhkan modal besar yang mustahil dimiliki pengecer.

Mulai dari pengadaan tempat usaha dengan luas minimal 165 meter, fasilitas penyimpanan yang sesuai dengan standar keselamatan seperti ventilasi gudang maksimal 30 cm dan 40 persen dari luasan gudang.

Syarat lainnya, memiliki kendaraan operasional minimal 1 (satu) Unit Truck yang masih layak jalan dan memenuhi ketentuan yang berlaku, dibuktikan dengan dokumen kendaraan dengan umur kendaraan maksimal 10 tahun. Jika diperlukan agen memiliki 1 (satu) Unit Pick Up untuk menjangkau daerah yang tidak dapat dilalui Truck. Selain itu calon pangkalan juga harus memiliki deposito dengan saldo minimal Rp750 juta.

Daftar syarat ini belum termasuk modal ratusan tabung kosong yang harus disiapkan calon pangkalan, alat pemadam, pendeteksi gas, sarana IT dan lainnya. Yang tentunya membutuhkan modal besar dan menyulitkan pengecer.

Pengamat Sosial Ekonomi dan Keagamaan yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, mendukung langkah pemerintah dalam penataan distribusi LPG 3 kg. Namun, ia menekankan bahwa kebijakan ini harus disertai dengan pengawasan ketat untuk mencegah praktik curang.

“Langkah pemerintah perlu diapresiasi karena selama ini banyak pihak yang diuntungkan dari distribusi LPG bersubsidi yang tidak terkendali. Namun, penataan ini harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat agar LPG 3 kg benar-benar sampai ke rumah tangga, usaha mikro, nelayan, dan petani yang berhak,” ujar Anwar, kepada inilah.com, Selasa (4/2/2024).

Ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi penyalahgunaan LPG 3 kg, seperti praktik pengoplosan gas ke tabung 12 kg untuk meraup keuntungan besar.

“Selisih harga yang signifikan membuka celah bagi pelaku usaha nakal. Misalnya, harga LPG 3 kg sekitar Rp6.000 per kg, sedangkan LPG 12 kg mencapai Rp16.000 per kg. Ini memungkinkan keuntungan ilegal hingga Rp120.000 per tabung hasil oplosan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan jarak distribusi agar masyarakat tidak kesulitan mengakses LPG 3 kg. “Pemerintah perlu memastikan jarak antara pangkalan resmi dan rumah warga tidak terlalu jauh. Jangan sampai ongkos transportasi lebih mahal dari harga gas itu sendiri,” tambahnya.

MUI juga mendorong pemerintah membuka saluran pengaduan atau hotline untuk menerima laporan masyarakat terkait dugaan penyelewengan distribusi.

“Penegakan hukum yang tegas harus diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran,” tegas Anwar. (ilo)