HERALD.ID, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai kritik tajam setelah mengesahkan tata tertib yang memungkinkan mereka mengevaluasi dan merekomendasikan pencopotan pejabat negara seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Langkah ini dinilai melampaui kewenangan DPR, yang seharusnya hanya memilih tanpa bisa membatalkan hasil pemilihan.
Pengamat politik, Rocky Gerung menilai bahwa aturan baru ini bukan sekadar bentuk pengawasan, melainkan bentuk intervensi terhadap lembaga lain yang memiliki mekanisme evaluasi sendiri.
“DPR sedang bermain di luar aturan. Mereka ingin memperluas kewenangannya, tetapi justru memperlihatkan arogansi kelembagaan,” ujar Rocky.
Menurutnya, aturan ini justru memperburuk citra DPR yang sudah merosot di mata publik. Alih-alih memperbaiki reputasi, DPR justru menimbulkan kecurigaan bahwa mereka ingin mengendalikan lembaga-lembaga yang seharusnya independen.
“Kita bisa menduga, aturan ini dibuat agar DPR bisa mengontrol keputusan-keputusan penting, misalnya yang terkait presidential threshold atau kasus-kasus politik di MK,” tambahnya.
Rocky juga menyoroti bagaimana banyak undang-undang yang dibuat DPR berakhir di Mahkamah Konstitusi untuk judicial review. Ini menunjukkan bahwa produk legislasi DPR seringkali cacat secara akademis dan kurang mempertimbangkan aspek sosiologis.
“Kalau undang-undang yang mereka buat sering diuji di MK, itu tandanya mereka sendiri tidak percaya dengan produk legislasi mereka,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa DPR seharusnya fokus pada tugas utama mereka, yaitu membuat regulasi yang berkualitas, bukan justru mengatur lembaga lain.
“Kalau DPR merasa banyak pejabat yang tidak kompeten, maka kesalahannya ada pada mereka sendiri karena proses rekrutmen yang buruk. Jangan kemudian DPR merasa berhak mencopot orang seenaknya,” kata Rocky.
Rocky menekankan bahwa DPR bukan lembaga super body yang bisa mengontrol semua aspek pemerintahan.
“Mereka hanya perwakilan politik yang sifatnya sementara, bukan pemegang penuh kedaulatan rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, jika DPR ingin memperbaiki pemerintahan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas legislasi dan memastikan bahwa setiap undang-undang yang dibuat benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat.
“Kalau mau revisi, mulailah dari produk-produk gagal seperti Omnibus Law. Jangan malah menambah kekuasaan yang tidak perlu,” pungkasnya. (*)