HERALD.ID, YOGYAKARTA – Rumah-rumah kayu yang terapung di atas laut, berayun lembut mengikuti ombak, bukanlah pemandangan asing bagi masyarakat pesisir Nusantara. Suku Bajo, yang dikenal sebagai pengembara laut, telah berabad-abad hidup di atas air, membangun pemukiman yang tak terpisahkan dari identitas mereka. Kini, di tengah polemik sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut, sejarah panjang Suku Bajo menjadi rujukan dalam perdebatan agraria di Indonesia.

Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Maria Suwardjono, menegaskan, hak kepemilikan lahan di atas laut bukanlah hal baru dalam sistem hukum agraria Indonesia.

“Jika kita mempertanyakan legalitas hak atas tanah di wilayah perairan pesisir, sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) Nomor 5 Tahun 1960, peluang itu sudah terbuka sejak lama,” ungkapnya dalam diskusi publik daring bertajuk “Polemik Pemberian Hak atas Tanah di Perairan Pesisir”, Jumat, 7 Februari 2025.

Suku Bajo dan Jejak Kepemilikan Lahan di Atas Air

Indonesia memiliki banyak komunitas pesisir yang membangun kehidupan di atas perairan. Selain Suku Bajo di Teluk Tomini, Sulawesi Tengah, ada pula Suku Laut di Kepulauan Riau dan Kampung Laut di Batam yang telah lama menempati wilayah perairan.

Pada tahun 2022, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) memberikan sertifikat HGB kepada komunitas Suku Bajo di Sulawesi Tengah. Setahun kemudian, giliran masyarakat Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang menerima sertifikat serupa.

“Nenek moyang kita adalah pelaut. Banyak suku asli di Indonesia yang sejak dulu tinggal di atas air. Mereka memiliki hak atas lahan yang mereka tempati, sebagaimana masyarakat daratan,” jelas Prof. Maria.

Sementara itu, pakar hukum agraria UGM lainnya, Prof. Nurhasan Ismail, menambahkan bahwa Pasal 1 Ayat 4 UU PA menyebutkan bahwa tanah tidak hanya mencakup daratan, tetapi juga bagian di bawah kolom air, termasuk pesisir, sungai, dan danau.

“Selama sesuai dengan peraturan yang berlaku, kepemilikan lahan di atas perairan pesisir bukanlah sesuatu yang melanggar hukum,” ujarnya.

Polemik Sertifikat di Atas Laut: Antara Legalitas dan Politik

Di tengah pemahaman hukum agraria yang mengakomodasi kepemilikan lahan di atas laut, muncul polemik terkait penerbitan sertifikat HGB untuk area pesisir di beberapa daerah, seperti Tangerang dan Sidoarjo.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, bersikeras mencabut hak tanah atau sertifikat pagar laut yang telah diterbitkan di kawasan tersebut. Nusron beralasan bahwa kepemilikan tersebut berpotensi melanggar aturan garis pantai dan berdampak pada lingkungan.

“Tidak mudah untuk membatalkan sertifikat, karena setiap keputusan bisa digugat di PTUN. Tapi yang pasti, semua sertifikat di luar garis pantai akan kami tinjau ulang,” tegas Nusron.

Kasus pagar laut di Tangerang yang membentang sepanjang 30,6 kilometer menjadi sorotan. Sebagian pihak menilai bahwa lahan tersebut digunakan untuk reklamasi, budidaya rumput laut, hingga alat tangkap nelayan. Namun, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa wilayah pesisir Tangerang telah mengalami abrasi ekstrem.

Menurut jurnal Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI), dalam satu dekade terakhir, abrasi telah menggerus pesisir Kabupaten Tangerang. Desa Kohod, misalnya, mengalami laju abrasi 31,41 meter per tahun, sementara Desa Tanjung Burung tercatat mengalami abrasi 23,12 meter per tahun.