HERALD.ID, JAKARTA – Di balik tembok megah Mahkamah Konstitusi (MK), bayang-bayang krisis mulai merayap. Tak ada denting palu keadilan, hanya suara keprihatinan yang menggema di ruang rapat parlemen. Sekretaris Jenderal MK, Heru Setiawan, mengungkapkan kenyataan pahit: gaji dan tunjangan pegawai hanya bisa dibayarkan hingga Mei 2025. Setelah itu? Tidak ada kepastian.
“Dengan pemotongan ini, kami hanya bisa mengalokasikan gaji dan tunjangan sebesar Rp45 miliar hingga Mei. Setelahnya, tidak ada kepastian,” ujar Heru dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Senayan, Jakarta, Rabu, 12 Februari 2025.
Langkah efisiensi ini merupakan imbas dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang memangkas Rp306,69 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dari jumlah tersebut, kementerian dan lembaga pemerintah harus mengencangkan ikat pinggang dengan efisiensi sebesar Rp256,1 triliun.
Pilkada dan Perkara Konstitusi Tanpa Anggaran
Bukan hanya urusan gaji yang terdampak, tugas utama MK dalam menjaga konstitusi juga terancam lumpuh. Pemrosesan sengketa Pilkada 2025 yang seharusnya menjadi prioritas, kini tanpa dana. Pengujian Undang-Undang (PUU), penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), serta berbagai perkara konstitusional lainnya juga terancam mandek.
“Termasuk kebutuhan dalam penanganan perkara konstitusi, pemeliharaan gedung, kendaraan, peralatan mesin, serta kebutuhan pokok perkantoran, semuanya tidak bisa dibayarkan,” tambah Heru.
MK pun terpaksa mengajukan pemulihan anggaran sebesar Rp38,2 miliar untuk gaji dan tunjangan, Rp20 miliar untuk operasional kantor, serta Rp130,6 miliar untuk penanganan perkara Pilkada dan PUU.
Namun, dalam realitas politik dan kondisi fiskal yang serba terbatas, tidak ada jaminan bahwa anggaran tersebut akan kembali.
Potret Suram, Masa Depan Konstitusi di Persimpangan
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: apa yang akan terjadi jika lembaga penjaga konstitusi kehabisan dana? Dalam sejarahnya, Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir keadilan konstitusional. Tetapi bagaimana jika benteng itu sendiri tak lagi mampu berdiri tegak?
Di luar sana, masyarakat menanti keadilan. Sengketa Pilkada, uji materi Undang-Undang, serta berbagai permasalahan hukum menumpuk di meja para hakim. Namun tanpa anggaran yang cukup, apakah palu keadilan masih bisa diketuk?
Efisiensi memang perlu, tetapi di titik ini, garis antara penghematan dan kelumpuhan institusi menjadi semakin tipis. Jika tak ada solusi dalam waktu dekat, Mahkamah Konstitusi bukan hanya kehilangan gaji—tetapi juga kehilangan fungsinya sebagai penjaga hukum tertinggi negeri ini. (*)