HERALD.ID, JAKARTA – Dalam episode terbaru podcast Trust.id yang dipandu oleh Megel Jakson bersama Said Bajuri, narasumber Azni Tan, Direktur Eksekutif Migrant Watch, mengupas tuntas tragedi kemanusiaan yang menimpa pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia. Percakapan ini tidak hanya menyoroti insiden penembakan PMI di perairan Riau akhir Januari lalu, tetapi juga mengkritik sistem tata kelola yang dianggap gagal melindungi hak-hak dasar pekerja migran.
Azni Tan membuka diskusi dengan menyatakan bahwa tragedi penembakan PMI bukanlah kejadian pertama. “Kami sering menerima laporan kapal-kapal yang dikejar, ditenggelamkan, bahkan dihancurkan di perbatasan Kalimantan dan Kepulauan Riau,” ujarnya. Menurutnya, ini adalah bukti nyata dari sistem yang tidak komprehensif dan cenderung reaksioner. “Kita terlalu sibuk memadamkan api, tanpa pernah mencari akar masalahnya,” tambah Azni.
Sistem yang Gagal dan Eksploitasi yang Terus Berulang
Azni menegaskan, masalah utama terletak pada tata kelola yang buruk. “Sistem yang baik seharusnya memiliki toleransi kesalahan hanya 5-10%. Namun, di sini, lebih dari 50% PMI berangkat secara ilegal. Ini menunjukkan kegagalan sistemik,” paparnya. Ia juga menyoroti birokrasi yang rumit dan mahal, yang justru menjadi bancakan bagi sindikat ilegal di Indonesia dan Malaysia. “Biaya medis saja bisa mencapai Rp2,5 juta per orang, dan ini seringkali dibebankan kepada PMI, padahal seharusnya ditanggung majikan,” ujarnya.
One Channel System: Solusi atau Masalah Baru?
Megel Jakson mengangkat pertanyaan tentang One Channel System (OCS) yang diperkenalkan pada 2022. Sistem ini dirancang untuk mempermudah penempatan PMI secara transparan. Namun, Azni menilai OCS justru menambah kerumitan. “Prosedurnya terlalu panjang dan ruwet. Ini bukan solusi, melainkan masalah baru,” tegasnya. Ia menyarankan agar pemerintah hadir sebagai fasilitator, bukan regulator yang terlalu intervensif.
Perlindungan vs Penempatan: Mana yang Lebih Penting?
Azni menekankan, perlindungan dan penempatan PMI tidak bisa dipisahkan. “Bekerja adalah hak dasar manusia. Negara harus memastikan bahwa PMI bekerja dalam kondisi layak dan atas kesadaran penuh,” ujarnya. Ia mencontohkan Filipina, yang memiliki sistem perlindungan PMI yang lebih baik. “Ketika PMI Filipina kehilangan dokumen, mereka langsung dilayani oleh kedutaan besar. Mereka dilatih dan dicarikan pekerjaan baru. Ini yang harus kita tiru,” kata Azni.
Harapan untuk Kementerian Perlindungan Pekerja Migran
Dengan transformasi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi Kementerian Perlindungan Pekerja Migran, Azni berharap ada terobosan baru. “Ini momentum yang tepat untuk membenahi sistem. Revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya digitalisasi dan integrasi sistem untuk mempermudah proses penempatan dan perlindungan PMI.
Nasionalisme Sempit vs Globalisasi
Azni mengkritik pandangan nasionalisme sempit yang menganggap bekerja di luar negeri sebagai aib. “Ini adalah hukum pasar. Malaysia butuh tenaga kerja kita, dan kita butuh lapangan pekerjaan. Ini simbiosis mutualisme,” tegasnya. Ia menegaskan, PMI adalah pahlawan devisa yang berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Remitansi PMI yang tercatat mencapai Rp160 triliun. Jika ilegal dihitung, bisa mencapai Rp500 triliun. Ini potensi besar yang harus dioptimalkan,” ujarnya.
Momentum untuk Perubahan
Azni menutup diskusi dengan harapan agar tragedi kemanusiaan seperti penembakan PMI tidak terulang. “Revisi undang-undang harus fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan pasar kerja internasional. Perlindungan PMI harus simpel, murah, dan mudah diakses,” ujarnya. Ia juga berpesan agar pemerintah tidak terjebak dalam paradigma perlindungan yang berlebihan, yang justru bisa dimanfaatkan oleh mafia penempatan ilegal.
Podcast ini tidak hanya menyajikan analisis mendalam tentang masalah PMI, tetapi juga mengajak pendengar untuk merefleksikan pentingnya tata kelola yang manusiawi dan berkeadilan. Seperti kata Azni, “PMI adalah manusia bermartabat. Mereka layak diperlakukan dengan hormat dan dilindungi hak-haknya.” (*)