HERALD.ID, JAKARTA – Keputusan mengejutkan muncul dari Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerindra yang digelar, di Hambalang, Rabu 13 Februari 2025.
Dalam pertemuan tersebut, Gerindra secara resmi menetapkan kembali Prabowo Subianto sebagai ketua umum sekaligus calon presiden untuk Pemilu 2029.
Langkah ini dinilai sebagai strategi mengamankan jalur politik Prabowo sekaligus menutup peluang bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai capres dari partai tersebut.
Pengamat politik, Rocky Gerung menilai keputusan Gerindra ini bukan sekadar langkah organisasi biasa, melainkan bagian dari persaingan politik yang semakin mengerucut antara Prabowo dan Presiden Joko Widodo.
Dengan penetapan ini, Gerindra mengunci kemungkinan Gibran maju lewat partai mereka, memaksanya untuk mencari dukungan dari partai lain seperti Golkar atau Demokrat.
“Keputusan ini sangat fenomenal. Gerindra memastikan bahwa Prabowo akan maju kembali di 2029. Ini menimbulkan kegaduhan politik karena konsekuensinya Gibran tidak mungkin dicalonkan oleh Gerindra,” ujar Rocky
Menurut Rocky, keputusan ini juga menjadi sinyal bahwa Jokowi kemungkinan akan membangun blok politik baru untuk mendukung langkah politik Gibran.
PSI, partai yang kini dipimpin oleh Kaesang Pangarep, disebut-sebut bisa menjadi alat politik Jokowi dalam mendukung putranya.
Dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi, peluang Gibran untuk maju lewat jalur lain masih terbuka lebar.
Namun, dampak dari keputusan Gerindra ini tidak hanya pada konfigurasi politik Pemilu 2029. Rocky juga menyoroti kemungkinan adanya reshuffle kabinet dalam waktu dekat.
“Menetapkan Prabowo kembali sebagai calon presiden berarti Gerindra perlu mengamankan posisi di kabinet untuk kepentingan politik jangka panjang,” tambahnya.
Di sisi lain, langkah ini juga menunjukkan bahwa Prabowo ingin memastikan dirinya tetap menjadi pemimpin utama dalam Koalisi Indonesia Maju Plus.
Meski partai-partai anggota koalisi memiliki hak untuk mengusung calon mereka sendiri, keputusan KLB Gerindra secara efektif memaksa mereka untuk mengikuti arah politik yang telah ditetapkan.
“Gerindra memainkan bidak putih lebih dulu. Dengan presidential threshold nol persen, mereka punya kebebasan penuh untuk melenggang tanpa harus tergantung pada partai lain,” jelas Rocky.
Sementara itu, publik masih mempertanyakan alasan Gerindra mengambil langkah ini begitu dini, bahkan sebelum pemerintahan Prabowo berjalan lebih dari 100 hari.
Beberapa pihak menilai ini sebagai bentuk ketidakpercayaan pada stabilitas politik ke depan, sehingga perlu ada jaminan sejak dini untuk pemilu berikutnya.
Meski demikian, Rocky mengingatkan agar publik tidak teralihkan dari isu-isu krusial lainnya.
“Di luar persaingan politik menuju 2029, ada masalah lain yang perlu diperhatikan seperti pemangkasan anggaran, kebijakan makan siang gratis, dan konflik agraria yang semakin meluas,” pungkasnya. (*)