HERALD.ID, ISTANBUL–Mobilisasi warga di Jalur Gaza dapat mendorong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump keluar dari jalur mereka. Itu menurut mantan pelapor khusus PBB, Richard Falk.

“Kita telah mencapai titik di mana keputusasaan situasi sedemikian rupa sehingga hanya mobilisasi orang-orang yang dapat memengaruhi perilaku pemerintah terkemuka yang dapat menghasilkan semacam perubahan mendasar yang menghindari jalan yang tampaknya ditempuh Netanyahu dan Trump saat ini,” kata Richard Falk dalam sebuah konferensi tentang Palestina di Universitas Istanbul dikutip Anadolu.

Mengatakan bahwa ia telah lama tertarik pada masalah Palestina dan telah menentang pemerintah AS atas kebijakannya tentang masalah ini selama beberapa dekade, Falk menggambarkan rencana Trump untuk masa depan Gaza sebagai visi gelap.

Trump sudah berulang kali menyerukan untuk mengambil alih Gaza dan memukimkan kembali penduduknya untuk membangun kembali daerah kantong itu menjadi apa yang disebutnya “Riviera Timur Tengah.”

Gagasan itu telah ditolak keras oleh dunia Arab dan banyak negara lain, yang mengatakan bahwa hal itu sama saja dengan pembersihan etnis.

“Dukungan Trump yang eksplisit terhadap apa yang telah dilakukan Israel di Gaza cukup mengerikan, karena yang dilakukannya adalah menghukum korban,” tegasnya.

“Dan di sisi lain, tampaknya hal itu menjadikan Gaza sebagai proyek real estat, proyek real estat raksasa yang akan memperkaya investasi konstruksi dan pada akhirnya akan menghasilkan, konon, ‘Riviera untuk Timur Tengah,'” lanjut Falk.

Beralih ke badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), ia mengatakan upaya kemanusiaan UNRWA tidak boleh diremehkan.

“Itulah komitmen saya dan komitmen Pengadilan Gaza. Ini juga merupakan komitmen yang harus memberikan rakyat Palestina wewenang atas masa depan mereka sendiri,” imbuhnya.

Mengenai rencana Trump untuk mengambil alih Gaza, Falk mengatakan bahwa Trump selalu mencari kesepakatan, dan mungkin ini hanya cara untuk membuka semacam negosiasi untuk masa depan di mana AS bertindak sebagai protektorat.

Ia mengatakan ada usulan lain, termasuk dari Turki, yang menyarankan bentuk protektorat alternatif yang dikelola oleh Turki atas nama rakyat Palestina.

“Dan jika saya orang Palestina, saya tentu lebih memilih itu daripada gagasan Trump,” tegasnya.

Usulan Trump muncul setelah perjanjian gencatan senjata mulai berlaku di Gaza pada 19 Januari, menghentikan serangan Israel selama 15 bulan, yang telah menewaskan lebih dari 48.000 orang dan menghancurkan daerah kantong itu. (ilo)