HERALD.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Usaha Negara, Refly Harun, menyoroti polemik sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di kawasan Pagar Laut, Tangerang, yang berkaitan dengan pengusaha Sugianto Kusuma atau Aguan.
Menurutnya, langkah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid yang membatalkan pencabutan sertifikat milik perusahaan Aguan menimbulkan berbagai pertanyaan publik.
Refly menilai bahwa terdapat dugaan konflik kepentingan yang kuat dalam kasus ini.
“Mengapa sertifikat milik Aguan tidak dibatalkan? Kalau alasannya karena berada di garis pantai, padahal mungkin hasil reklamasi, ini tentu menimbulkan spekulasi lebih jauh,” ujarnya dalam sebuah diskusi.
Diketahui, Nusron Wahid memastikan bahwa 58 sertifikat HGB milik PT Cahaya Inti Sentosa (CIS), entitas usaha yang terafiliasi dengan Aguan, tetap sah secara hukum.
Hal ini lantaran mayoritas bidang tanahnya berada di daratan atau dalam garis pantai. Dari total 280 sertifikat yang ada di kawasan tersebut, 209 telah dibatalkan, sementara 13 sertifikat lainnya masih dalam tahap evaluasi.
Namun, keputusan ini menimbulkan pertanyaan lain. Beberapa pihak menduga bahwa sertifikat yang tidak dicabut telah dijadikan jaminan kredit di bank untuk membiayai proyek besar seperti Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
“Jika benar sertifikat tersebut sudah diagunkan, maka ada potensi pelanggaran hukum karena bisa saja dokumen tersebut dibuat berdasarkan data yang tidak valid,” ujar Refly.
Kasus ini semakin menimbulkan tanda tanya karena penanganannya yang terkesan berlarut-larut. Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, bahkan menyarankan agar dibentuk tim khusus untuk mengaudit seluruh persoalan ini secara menyeluruh. Menurutnya, hanya dengan langkah tegas dan independen, kebenaran bisa terungkap.
Selain itu, berbagai pihak menilai bahwa sikap pemerintah dalam menangani kasus ini masih lemah.
Kejaksaan Agung sempat mundur dari penyidikan kasus korupsi di Pagar Laut, sementara gedung ATR/BPN mengalami kebakaran yang menimbulkan spekulasi baru.
Ditambah lagi, Polri sejauh ini hanya memproses beberapa pihak di tingkat bawah, seperti kepala desa dan aparat lokal, tanpa menyentuh aktor besar di balik kasus ini. (*)