HERALD.ID – Menteri Agama RI sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar, menyampaikan tausyiah mendalam tentang hakikat salat dan penerimaannya di sisi Allah. Dalam ceramahnya, Kiai Nasar menekankan bahwa diterima atau tidaknya ibadah seseorang bukan ditentukan oleh perasaan pribadi, melainkan oleh ketentuan Allah yang Maha Mengetahui.
“Boleh jadi kita merasa sangat khusyuk dalam salat, tetapi siapa yang bisa memastikan bahwa salat itu diterima? Bisa saja pakaian yang kita kenakan berasal dari uang haram, makanan yang kita konsumsi hasil dari transaksi yang tidak berkah, atau harta yang kita gunakan tercampur dengan korupsi. Satu amplop uang haram yang masuk dalam tubuh, dapat membuat salat kita tidak diterima selama 40 hari 40 malam,” ujar KH Nasaruddin.
Pendiri Pondok Pesantren Al-Ikhlas Ujung, Kecamatan Dua Boccoe, Bone ini mengingatkan, perasaan nyaman dan bahagia dalam beribadah bukanlah jaminan diterimanya ibadah tersebut. Sebaliknya, rasa takut, rendah diri, dan merasa belum maksimal dalam salat justru bisa menjadi tanda ibadah yang lebih tulus dan diterima Allah.
“Banyak orang yang merasa jauh dari Allah, merasa belum bisa menemukan-Nya, merasa hina di hadapan-Nya. Justru bisa jadi salat orang-orang seperti inilah yang diterima. Allah lebih menyukai hambanya yang tawaduk daripada yang merasa dirinya suci dan bangga dengan ibadahnya,” lanjutnya.
Menurut KH Nasaruddin, manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menghindari perkara haram dan syubhat, serta tetap menjalankan kewajiban dengan penuh kesadaran. Urusan diterima atau tidaknya salat adalah hak prerogatif Allah.
“Yang penting, jangan pernah berhenti salat. Jika kita hanya mampu mengingat Allah satu persen dalam salat kita, tetap lakukan. Jangan putus asa hanya karena merasa kurang sempurna. Allah lebih menyukai hamba yang terus berusaha dibandingkan mereka yang merasa sudah sempurna,” imbuhnya.
“Allah lebih senang mendengarkan jeritan tobatnya para pendosa, dibanding gemuruh tasbihnya para ulama. Gemuruh tasbihnya ulama itu biasa, tapi jeritan tobat para pendosa, itu yang luar biasa,” tutupnya.
Tausyiah ini menjadi pengingat bagi setiap Muslim untuk senantiasa memperbaiki ibadah, menjauhkan diri dari perkara haram, dan selalu merasa rendah hati di hadapan Allah. (*)