HERALD.ID – Suara lembut Mathius D. Fakhiri bergetar saat mengucapkan dua kalimat syahadat. Di hadapan para saksi, mantan Kapolda Papua itu menutup mata sejenak, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Pada Maret 2024, sebuah babak baru dalam hidupnya dimulai.
Bagi sebagian orang, keputusan berpindah keyakinan adalah sebuah loncatan besar yang mendadak. Namun, bagi Mathius, perjalanan ini bukan sekadar pergantian label agama. Ia menempuh jalan panjang, berliku, dan penuh perenungan sebelum akhirnya memeluk Islam.
Sejak kecil, Mathius tumbuh dalam keluarga berdarah campuran dari Bade, Edera, Mappi, hingga Sorong Selatan. Sebagai anak seorang letkol purnawirawan, hidupnya dipenuhi dengan kedisiplinan. Pendidikan berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya, membuatnya terbiasa dengan perubahan. Namun, perubahan terbesar justru datang setelah ia mengakhiri pengabdian panjangnya di kepolisian.
Pensiun dini dari institusi Polri pada 2024 demi mencalonkan diri sebagai Gubernur Papua menjadi titik refleksi bagi Mathius. Dalam masa jeda itu, ia semakin mendalami Islam. Bukan atas paksaan, bukan karena tekanan. Melainkan karena sebuah ketertarikan mendalam pada ajaran yang ia pelajari secara perlahan.
Sebagai perwira tinggi Polri yang lama bertugas di tanah Papua, Mathius dikenal tegas namun humanis. Kepemimpinannya diwarnai pendekatan dialogis dalam menyelesaikan konflik. Kini, setelah menanggalkan seragam kepolisian, ia kembali memimpin dirinya sendiri dalam perjalanan spiritual yang baru.
“Saya merasa damai,” ucapnya singkat saat ditanya alasannya memeluk Islam. Tak ada kalimat panjang lebar. Tak ada sensasi. Hanya ketenangan yang terpancar dari wajahnya.
Perubahan keyakinan Mathius menjadi perbincangan, terlebih karena ia sebelumnya memeluk Hindu. Namun, bagi dirinya, perjalanan ini adalah urusan pribadi. Sebuah pencarian yang akhirnya berlabuh pada keyakinan yang paling menenteramkan hatinya.
Sebagai seorang mantan Kapolda yang kini memasuki dunia politik, Mathius tentu akan menghadapi sorotan dari berbagai pihak. Namun, di balik segala spekulasi, satu hal yang pasti: ia telah memilih jalannya sendiri, dengan kesadaran penuh, dan dengan hati yang mantap.
Kini, lembaran baru telah terbuka. Tak lagi mengenakan seragam dinas, Mathius D. Fakhiri melangkah dengan keyakinan baru—menjalani kehidupan dengan Islam sebagai pijakan, dan Papua sebagai tanah tempat ia mengabdikan diri. (*)