HERALD.ID, JAKARTA — Di tengah upaya pemerintah pusat merapikan pos pengeluaran negara, kebijakan efisiensi anggaran justru membawa angin kencang bagi sektor pariwisata.
Pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan larangan rapat di luar kantor membuat hotel-hotel kehilangan tamu, sementara pelaku usaha pariwisata merasakan dampak langsung di kantong mereka.
Ketua Umum Asosiasi Pariwisata Nasional (Asparnas), Ngadiman Sudiaman, mengungkapkan bahwa kebijakan ini berdampak serius pada operasional hotel dan restoran.
Menurutnya, penurunan omzet mencapai rata-rata 30 persen selama Januari dan Februari 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Memasuki bulan Maret, apalagi saat Ramadan, biasanya lebih sepi lagi. Ini membuat kami semakin khawatir,” kata Ngadiman dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (9/3/2025).
Tak hanya soal penurunan pendapatan, beberapa hotel dan perusahaan pariwisata mulai mengambil langkah sulit: mengurangi jumlah karyawan secara bertahap.
Ngadiman menyebut tingkat okupansi hotel turun hingga 20 persen, menghantam pelaku usaha perhotelan, hiburan, dan restoran.
Bahkan, ia mencontohkan kondisi di Bali pada Desember 2024 lalu, di mana tingkat hunian hotel anjlok antara 30 hingga 50 persen.
“Ini tanda-tanda daya beli masyarakat sedang lemah, ditambah turis mancanegara yang berkurang datang ke Indonesia,” ujarnya.
Lebih jauh, penurunan okupansi ini turut memengaruhi setoran pajak hotel kepada pemerintah.
Ngadiman pun khawatir jika kondisi ini terus berlanjut, industri perhotelan bisa mati perlahan, memaksa pengusaha melakukan PHK demi bertahan.
“Kami butuh solusi konkret dari pemerintah agar sektor pariwisata ini tidak ambruk,” tegasnya.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN.
Kebijakan ini memangkas anggaran perjalanan dinas pemerintah daerah hingga 50 persen, dengan total efisiensi belanja negara mencapai Rp306,6 triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp256,1 triliun berasal dari anggaran kementerian/lembaga dan Rp50,5 triliun dari transfer ke daerah.
Langkah ini bertujuan memperkuat ketahanan fiskal, meski di sisi lain memantik kegelisahan di sektor-sektor tertentu, termasuk pariwisata. (*)