HERALD.ID, JAKARTA – Analis intelijen dan birokrasi militer, Selamat Ginting, mengingatkan Presiden terpilih Prabowo Subianto tentang potensi risiko politik serius akibat keputusan menempatkan Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya di posisi Sekretaris Kabinet. Ginting menilai langkah ini melanggar Undang-Undang TNI Nomor 34/2004 dan berpotensi memicu hak angket DPR serta menjatuhkan kredibilitas Prabowo jika tak segera dikoreksi.
Lonjakan Karier Teddy yang Kontroversial
Teddy, lulusan Akademi Militer 2011, disebut mengalami kenaikan pangkat luar biasa (KPLB) dua kali, dari Kapten ke Mayor (2023) dan kini Letnan Kolonel (2024), meski dinilai belum memenuhi syarat masa dinas dan pendidikan militer. Padahal, menurut aturan, pangkat Letnan Kolonel umumnya dicapai setelah 23 tahun pengabdian, sementara Teddy baru 13 tahun berkarier. Promosi ini disebut memicu keresahan di kalangan perwira TNI, termasuk dari perwira tinggi bintang empat hingga perwira pertama.
Pelanggaran Aturan dan Ancaman Hak Angket DPR
Ginting dalam kanal Youtube Forum Keadilan TV yang dipandu Indra J Piliang menegaskan, penempatan Teddy sebagai Sekretaris Kabinet—jabatan sipil setara eselon II—melanggar Pasal 47 UU TNI yang hanya memperbolehkan militer aktif menduduki 10 posisi tertentu, seperti Kemenko Polhukam atau BIN. “Jika dipaksakan, DPR bisa menggunakan hak angket untuk mempersoalkan pelanggaran hukum oleh presiden,” ujarnya. Ia juga mengkritik pelantikan Teddy oleh Prabowo bersama wakil menteri, yang seharusnya hanya berlaku untuk pejabat setingkat menteri.
Kritik terhadap Peran Militer dan Ancaman Krisis
Ginting membandingkan kasus Teddy dengan kegagalan militer Mesir di era 1970-an, di mana perwira yang dekat dengan kekuasaan politik diangkat menjadi jenderal tanpa kompetensi, berujung kekalahan memalukan. “TNI bisa kehilangan marwah jika dipimpin oleh perwira ‘salon’ yang lebih banyak buka-tutup pintu istana daripada medan tempur,” tegasnya.
Ia mendesak Prabowo belajar dari era Presiden SBY yang tertib dalam menempatkan militer di jabatan sipil, termasuk memensiunkan perwira terlebih dahulu. “Prabowo jangan mengulangi kesalahan Jokowi yang mengacak-acak sistem karier TNI. Pensiunkan Teddy agar masalah ini tidak jadi bom waktu,” imbuhnya.
Dampak terhadap Kredibilitas Prabowo
Ginting memperingatkan, kasus Teddy bisa menjadi preseden buruk yang merusak integritas TNI dan memicu ketidakpercayaan publik. “Presiden sebagai panglima tertinggi harus tegas mengutamakan kepentingan institusi, bukan kepentingan politik pragmatis,” ucapnya. Jika dibiarkan, hal ini berisiko mengembalikan TNI ke era “Nagabonar”, di mana kenaikan pangkat didasarkan pada kedekatan politik, bukan meritokrasi.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari Istana atau Mabes TNI terkait kritik tersebut. Namun, sorotan terhadap karier Teddy terus menguat, terutama setelah ia dianggap tidak pernah menjalani tugas operasional sebagai Kopasus, seperti penugasan di Papua, dan lebih banyak terlibat dalam tugas protokoler istana.
Teddy Indra Wijaya sebelumnya dikenal sebagai ajudan mantan Menhan Prabowo dan Presiden Jokowi. Kasus ini menyoroti kompleksitas hubungan sipil-militer di Indonesia pasca-Reformasi, sekaligus menguji komitmen Prabowo dalam menjaga netralitas TNI. (*)