HERALD.ID – Mantan Staf Ahli Senator asal Sulawesi Tengah, M Fithrat Irfan, mengungkap rekaman percakapan dengan politisi NasDem Ahmad Ali terkait laporannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang dugaan suap massal 95 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam pemilihan pimpinan DPD dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2024-2029. Rekaman tersebut diduga mengandung upaya intimidasi untuk melindungi Wakil Ketua MPR, Akbar Supratman, dari proses hukum.
Isi Rekaman: Tekanan dan Ancaman
Dalam podcast Madilog Forum Keadilan, Irfan memutar rekaman telepon dengan Ahmad Ali yang menyebutkan:
- Ahmad Ali: “Jangan bawa-bawa nama Akbar. Dia adik saya. Uang yang dipakai di pemilihan itu uang saya.”
- Irfan menanggapi: “Saya sedih. Istri saya sudah senang karena saya dapat kerja, tiba-tiba dihancurkan.”
Rekaman lain menampilkan Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra, yang mengancam melaporkan Irfan jika terus menyebut namanya. Sementara itu, mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad disebut menelepon Irfan dini hari usai pemilihan, menegaskan tidak terlibat dalam kasus DPD.
Kronologi dan Motif Pelaporan
Irfan menjelaskan, laporan ke KPK diajukan pada 6 Desember 2023 setelah menemukan indikasi gratifikasi berupa aliran dana tidak wajar ke 95 anggota DPD. Namun, sejak itu, ia menerima ancaman dan tekanan dari sejumlah pihak, termasuk permintaan untuk “menahan diri” membahas kasus Akbar Supratman, anak mantan Menteri Hukum yang didukung Ahmad Ali.
“Saya diingatkan untuk tidak menjadikan Akbar target, tapi 95 anggota lain silakan. Tapi saya tak bisa kompromi karena ini pelanggaran sistemik,” ujar Irfan.
Analisis Psikologis dan Hukum
Reza Indragiri, pakar psikologi forensik, menyoroti tekanan psikologis yang dihadapi whistleblower seperti Irfan, terutama ancaman retaknya hubungan kekerabatan. “Ini bukan sekadar intimidasi, tapi pertaruhan antara idealisme dan ikatan keluarga yang bisa meruntuhkan mental,” jelas Reza.
Kuasa hukum Irfan, Aziz Yanuar, menegaskan rekaman tersebut akan dilaporkan ke KPK sebagai bukti tambahan. “Kami sedang mengoordinasikan perlindungan saksi ke LPSK mengingat ancaman yang serius,” ujarnya.
Dampak Politik
Kasus ini berpotensi menggoyang dunia politik Indonesia, terutama karena melibatkan nama-nama besar seperti Akbar Supratman (kader Partai Gerindra) dan Fadel Muhammad. Irfan juga menyebut adanya indikasi “pembagian tasbih digital” dan aliran dana ilegal dari oknum Kementerian Hukum untuk memengaruhi pemilihan.
Respons Publik dan KPK
Publik diimbau mengawal kasus ini secara kritis. Irfan berharap media mainstream tidak terjebak narasi politik yang mengaburkan fakta. Sementara itu, KPK belum memberikan respons resmi, meski rencana pemeriksaan lanjutan terhadap bukti telah diagendakan. Kasus ini menguji komitmen pemerintahan Prabowo Subianto dalam memberantas korupsi, sekaligus menjadi cerminan kompleksitas hubungan sipil-militer dan politik di Indonesia. Jika terbukti, suap massal DPD bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi, tetapi transparansi Irfan mungkin menjadi titik terang reformasi antikorupsi. (*)