HERALD.ID – Saham Tesla jatuh drastis setelah CEO-nya, Elon Musk, terlibat dalam politik Amerika Serikat. Pada Senin, 10 Maret 2025, saham Tesla mengalami penurunan terbesar sejak Oktober tahun lalu, anjlok lebih dari 15 persen menjadi 222 dolar AS (sekitar Rp3,6 juta) per saham.

Penurunan ini tidak hanya berdampak pada nilai saham, tetapi juga mengindikasikan penurunan signifikan dalam penjualan dan permintaan mobil listrik Tesla. Data pasar global menunjukkan bahwa permintaan untuk kendaraan Tesla mulai melambat, sebuah perkembangan yang cukup mengejutkan mengingat popularitas merek ini.

Dalam laporan yang diterbitkan pada hari yang sama, analis UBS memperkirakan Tesla hanya akan menjual 367.000 kendaraan pada kuartal pertama 2025. Angka ini menunjukkan penurunan 6 persen dibandingkan dengan 386.810 kendaraan yang terjual pada kuartal pertama 2024, dan penurunan lebih tajam lagi sebesar 9 persen dibandingkan dengan 422.875 kendaraan yang dikirim pada kuartal pertama 2023.

Namun, meskipun menghadapi penurunan ini, Tesla tetap menjadi produsen mobil dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia. Pada 10 Maret 2025, perusahaan ini masih bernilai 696 miliar dolar AS (sekitar Rp11,5 kuadriliun), jauh lebih tinggi dibandingkan produsen mobil tradisional seperti Ford (39 miliar dolar AS), General Motors (47 miliar dolar AS), dan Volkswagen (64 miliar dolar AS).

Keberhasilan Tesla sebagian besar disebabkan oleh pandangan investor yang tidak hanya melihat perusahaan ini sebagai produsen mobil, tetapi juga sebagai pionir teknologi dengan pengembangan kecerdasan buatan, sistem mengemudi otonom, dan robot humanoid.

Kini, dengan penurunan saham yang signifikan, muncul pertanyaan besar: apakah penurunan ini hanya bersifat sementara atau apakah ini awal dari berakhirnya dominasi Tesla sebagai raksasa kapitalisasi pasar? Hanya waktu yang akan menjawab, namun perjalanan perusahaan ini tampaknya sedikit lebih menantang dari sebelumnya. (*)