HERALD.ID, JAKARTA – Komisi IV DPR menolak kebijakan Pemerintah menghapus distributor pupuk dari rantai penyalur pupuk subsidi. Kebijakan ini tidak hanya menambah carut marut persoalan pupuk, tapi juga bakal memicu pengangguran lebih besar di bawah.
Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo menilai ada salah tafsir dan salah pemahaman dari kebijakan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan) yang bakal menghapus distributor dalam rantai distribusi pupuk subsidi. Sebab sepengetahuannya, tidak ada sepatah kata pun dari Presiden Prabowo Subianto yang menginstruksikan bahwa distributor pupuk itu dibubarkan.
“Yang ada adalah beliau menyampaikan bahwa carut-marutnya terhadap distribusi pupuk ini sehingga pupuk dianggap tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu, tidak tepat kualitas, dan tidak tepat harga kepada penerima,” kata Firman Soebagyo saat menerima aspirasi Asosiasi Distributor Pupuk Indonesia, se-Jawa Tengah, Kamis 13 Maret 2025.
Firman mengingatkan, prinsip dasar kategori bantuan pupuk bersubsidi ini adalah merupakan bantuan yang bertujuan untuk meningkatan produksi pertanian. Namun dalam pelaksanannya, Pemerintah justru membuat kesalahan besar dengan memasukkan pupuk subsidi ini sebagai bantuan sosial.
“Sehingga terminology-nya itu bukan pupuk itu diberikan kepada manusia, pemilik lahan, tetapi harus berdasarkan geopasial, yaitu luasan lahan sehingga terukur nantinya. Kemudian untuk meningkatkan produksi luasan lahan itu, siapapun yang menerima ada kewajiban untuk meningkatkan produksi. Ini prinsip dasar yang pertama yang saya lihat itu kesalahan Pemerintah,” katanya.
Politisi senior Fraksi Golkar ini mengatakan, telah berulang kali mewanti Pemerintah bahwa terkait distribusi pupuk ini mulai dengan dengan distributor, sampai kepada tingkat penyaluran di tingkat bawah ini mestinya ada evaluasi. Evaluasi menyeluruh ini mutlak diperlukan menyikapi banyaknya keluh kesah terhadap distribusi pupuk bersubsidi yang ternyata tidak hanya menimpa petani saja, tetapi juga menimpa distributor dan pengecer.
“Ada persoalan-persoalan yang memang sangat serius untuk diselesaikan. Namun sampai Pak Amran (Menteri Pertanian) menjadi Menteri, diberhentikan, naik lagi jadi menteri dan sekarang jadi menteri lagi, nyaris persoalan perbaikan, prosedur administrasi, dan tata kelola (pupuk bersubsidi) tidak pernah terjadi,” katanya.
Ironisnya, sambung Firman, Pemerintah belum sekalipun melakukan evaluasi terhadap tata kelola dan distribusi pupuk bersubsidi ini. Tetapi yang terjadi, Kementerian Pertanian (Kementan) malah membuat kebijakan yang semangatnya tidak sama dengan apa yang diinginkan Presiden.
Ketika Presiden Prabowo meminta agar tata kelola pupuk benar-benar dilakukan secara tepat waktu, tepat mutu, tepat sasaran dan tepat jumlah atau 4T, namun oleh Kementerian Pertanian menterjemahkan seolah-olah carut marutnya perpupukan ada di pihak distributor.
“Nah kalau distributor ini akan dihapus juga, spiritnya bertentangan dengan semangat Bapak Presiden sendiri yang sudah berkali-kali mengatakan bahwa roda ekonomi harus dibangun mulai dari daerah, adalah membangun potensi ekonomi dari desa ke kota. Tetapi dengan kebijakan saudara menteri kalau ingin menghapuskan ini justu menentang kebijakan Presiden. Artinya menteri tidak paham apa yang diinginkan Presiden,” tegasnya.
Firman mengingatkan, selama ini banyak tenaga kerja yang diserap dari hadirnya distributor ini. Jika dihitung-hitung jumlah tenaga kerja hingga turunannya ke bawah, itu bisa mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan. Dengan PHK Massal yang menimpa buruh Sriteks, dikhawatirkan akan berimbas ke sector pertanian sebagai akibat dihapusnya distributor pupuk ini.
“Jadi kepada seluruh distributor pupuk kalau rapat dengan DPR ini belum cukup, silakan Anda berdemo untuk menyampaikan kepada Presiden langsung. Kita sama-sama punya tugas, punya kewajiban bagaimana agar swasembada pangan ini bisa tercapai. Tetapi kalau sistem yang sudah baik dihancurkan seperti ini, kita akan kembali kepada titik nol,” tegasnya.
Untuk itu, Firman berharap agar rekomendasi Komisi IV DPR agar distributor ini tetap dipertahankan, sebagaimana kesimpulan yang telah disepakati dalam Focus Group Discussion belum lama ini. Toh distributor merupakan badan usaha yang tepat, yang dapat menjadi objek audit dalam tata kelola uang subsidi pupuk nanti oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Distributor juga memiliki jaminan gudang untuk buffer stok pupuk subsidi. Jaminan permodalan untuk penebusan pupuk subsidi ke BUMN Pupuk (PIHC), dan juga memiliki transportasi untuk pengangkutan pupuk subsidi dari PIHC ke Gapoktan, dan Bumdes.
“Distributor memiliki SDM yang sudah teruji dalam administrasi pupuk subsidi yang merupakan objek audit BPK, BPKP, Itjen, dan KP3,” tambahnya.
Sementara perwakilan Asosiasi Disributor Pupuk Indonesia Wilayah Jawa Tengah, Bagus mengungkapkan keresahan para distributor pupuk bersubsidi dari Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi. Sebab dalam Perpres baru ini, aka nada perombakan penyaluran pupuk bersubsidi secara direct, dari PIHC kepada Gapoktan atau kios atau pengecer.
Bagus mengatakan, Di Jawa Tengah saja ini ada 210 distributor pupuk yang ikut mendukung peningkatan produksi padi dan program swasembada pangan. Pihaknya juga mendukung pemangkasan mata rantai alur penyaluran pupuk bersubsidi yang sangat panjang. “Tapi pemangkasan ini sebatas regulasinya, bukan pemangkasan pada lembaga yang menyalurkan,” tegasnya.
Bagus menjelaskan, 210 distributor pupuk bersubsidi ini, baik berbadan hukum, badan usaha, maupun koperasi ini memiliki tenaga kerja cukup besar. Jika satu distributor memiliki 20 orang pegawai, maka di Jawa Tengah setidaknya ada angkatan kerja sekitar 4.200 orang. Ini belum termasuk Kios Pupuk Lengkap (KPL) yang jumlahnya mencapai 4.890 KPL.
“Kalau yang ngurus di KPL itu 3 orang saja misalnya, itu memerlukan sekitar 14.670 orang tenaga kerja,” bilangnya.
Dia menegaskan, Perpres tersebut mengancam kebelangsungan ribuan distributor pupuk di tanah air. Sebab jika distributor ini hilang, maka akan memicu pengangguran yang sangat luar biasa dan juga bertambahnya angka kemiskinan. Sehingga akibatnya akan banyak kepala keluarga yang tidak lagi memampu membayar hutang, anak-anak mereka putus sekolah dan terpaksa jual aset untuk menutup kebutuhan hidup.
“Kemudian kantor dan gudangnya baik distributor maupun pengecer juga mangkrak. Armada truk angkutan tidak operasional,” bilangnya.
Karena itu, dia berharap ada solusi bagi distributor dan KPL seluruh Indonesia agar tidak sampai terimbas dari Perpres ini. Apalagi mayoritas distributor ini sudah mengabdikan diri selama 21 tahun.
“Bisa dibayangkan bilamana distributor ini dihilangkan itu menurut menurut berita-berita gitu, maka pengorbanan yang selama 21 tahun ini kan hilang begitu saja. Ini yang menyakitkan kita sekalian distributor di Jawa Tengah dan juga distributor di Indonesia,” tegasnya. ham