HERALD.ID, JAKARTA – Pembentukan Danantara, super holding yang digadang-gadang menjadi sovereign wealth fund terbesar di dunia, memicu perdebatan hangat di berbagai kalangan.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menyoroti aspek politik di balik pembentukan Danantara yang dianggap sebagai upaya pergeseran pengaruh dari kelompok lama ke kelompok baru.
Menurut Refly Harun, Danantara lebih bernuansa politik dibandingkan ekonomi. Ia mempertanyakan apakah holding ini benar-benar bertujuan meningkatkan kinerja ekonomi atau hanya menjadi kendaraan politik bagi kelompok tertentu.
“Apakah ini benar-benar untuk kepentingan ekonomi atau sebenarnya untuk kepentingan politik? Itu yang jadi pertanyaan besar,” ujar Refly melalui akun YouTube-nya.
Salah satu isu utama yang mencuat adalah pergeseran kendali ekonomi dari kelompok yang sebelumnya dominan di pemerintahan Jokowi—diwakili oleh nama-nama seperti Erick Thohir, Luhut Binsar Pandjaitan, dan berbagai taipan—ke kelompok baru yang lebih dekat dengan Prabowo Subianto.
Refly menyoroti posisi Rosan Roeslani sebagai CEO Danantara yang sebelumnya adalah Ketua Tim Sukses Prabowo-Gibran.
“Jabatan Dewan Pengawas yang diberikan kepada Jokowi itu ece-ece saja, yang paling penting siapa yang jadi CEO. Rosan ini komunikasinya bisa langsung ke Prabowo, yang menjadi pembina dan penanggung jawab utama Danantara,” ungkapnya.
Selain persoalan politik, kritik tajam juga diarahkan pada struktur Danantara yang dinilai tidak tepat. Ekonom sekaligus mantan Dewan Pakar Tim Sukses Prabowo-Gibran, Prof. Feri Latuhihin, menilai bahwa seharusnya Danantara dibentuk sebagai Special Purpose Vehicle (SPV) untuk tujuan investasi tertentu, bukan sebagai super holding.
“Super holding ini kendaraannya salah. Seharusnya cukup SPV, bukan holding yang menguasai banyak aset besar secara menyeluruh,” kata Feri.
Ia juga mempertanyakan klaim bahwa Danantara memiliki aset senilai Rp14.000 triliun. Menurutnya, yang lebih penting adalah keberadaan uang tunai (cash), bukan sekadar aset.
“Kalau hanya aset, apakah itu likuid? Apalagi dalam perbankan, 90% dana yang dikelola itu adalah dana pihak ketiga. Jika terjadi penarikan besar-besaran, bank bisa dalam masalah besar,” tegasnya.
Kekhawatiran lain yang mencuat adalah potensi politisasi dalam pengelolaan aset Danantara. Bank-bank BUMN yang dimasukkan ke dalam holding ini dinilai sangat rentan terhadap intervensi politik.
“Bank ini tidak boleh dipolitisasi. Kalau sampai ada tarik-menarik kepentingan, dampaknya bisa serius,” kata Refly.
Ia juga menyoroti fenomena yang terjadi di era pemerintahan saat ini, di mana banyak posisi strategis di perusahaan negara dipegang oleh figur politik.
“Di zaman Prabowo ini, orang-orang politik bisa menguasai Pertamina, bank, dan banyak BUMN lainnya. Ini tambah politisasi, bukan depolitisasi,” pungkasnya. (*)