HERALD.ID, JAKARTA – Sidang perdana terdakwa Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat, 14 Maret 2025. Dalam persidangan tersebut, Hasto didakwa melakukan perbuatan melanggar hukum dengan merayu dan mengintimidasi Riezky Aprilia, calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024, agar mundur demi memberikan kesempatan bagi Harun Masiku menduduki kursi parlemen.

Jaksa Penuntut Umum menyebut bahwa Hasto memerintahkan anak buahnya, Saeful Bahri, untuk menemui Riezky di Hotel Shangri-La Orchard, Singapura, pada 25 September 2019. Dalam pertemuan itu, Saeful Bahri mengungkapkan bahwa Hasto memintanya untuk mundur sebagai caleg terpilih Dapil Sumsel-1. Namun, Riezky menolak ajakan tersebut.

“Saeful Bahri menemui Riezky Aprilia dan menyampaikan bahwa dirinya diperintah oleh terdakwa (Hasto) untuk meminta agar Riezky mundur sebagai caleg terpilih,” ujar salah satu jaksa dalam dakwaannya.

Meski ditolak, Hasto tidak menyerah. Ia kemudian memanggil Riezky untuk bertemu langsung pada 27 September 2019, dengan maksud menekan agar Riezky mundur. Dalam pertemuan itu, Hasto disebut menahan surat pelantikan Riezky sebagai anggota DPR, dengan ancaman jika ia tidak mundur. Riezky tetap menolak meski dalam ancaman.

“Terdakwa (Hasto) meminta Riezky untuk mengundurkan diri dan menyatakan bahwa surat undangan pelantikan Riezky ditahan. Riezky tetap menolak untuk mengundurkan diri,” kata jaksa.

Hasto Kristiyanto didakwa dengan tindak pidana korupsi berupa perintangan penyidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Jaksa juga mengungkapkan peran Hasto dalam sejumlah tindakan lainnya. Ia diduga terlibat dalam upaya untuk menghalangi penyidikan kasus Harun Masiku, termasuk memerintahkan agar ponsel Harun disembunyikan saat operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada 2020. Selain itu, Hasto juga didakwa memerintahkan Kusnadi untuk membuang ponselnya selama pemeriksaan pada tahun 2024.

Lebih lanjut, Hasto terlibat dalam pemberian suap kepada mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, bersama sejumlah pihak lainnya, untuk memastikan Harun Masiku dapat menduduki kursi DPR RI melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW). Suap sebesar Rp600 juta tersebut diberikan bersama-sama dengan advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku, melalui mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan Hasto, menurut jaksa, melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Kasus ini menjadi sorotan publik, mengingat keterlibatan pejabat tinggi dalam praktik korupsi yang merugikan integritas lembaga legislatif dan sistem demokrasi Indonesia. Sidang ini akan berlanjut pada kesempatan berikutnya. (*)