HERALD.ID – Di awal masa pemerintahannya yang kedua, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali meluncurkan kebijakan kontroversial yang membatasi perjalanan bagi warga negara dari berbagai negara.

Kebijakan ini, yang dilaporkan pertama kali oleh The New York Times, telah memicu perdebatan internasional terkait diskriminasi dan ketegangan diplomatik.

Pembatasan Visa untuk 40 Negara

Menurut laporan Reuters pada Minggu, 16 Maret 2025, kebijakan ini melibatkan total 40 negara yang dibagi menjadi tiga kelompok.

Negara-negara tersebut akan menghadapi berbagai tingkat pembatasan perjalanan ke AS, termasuk penangguhan visa penuh, pembatasan sebagian, dan kemungkinan pembatasan lebih lanjut jika pemerintah negara tersebut tidak mengambil tindakan dalam 60 hari.

Kelompok Pertama: Penangguhan Visa Penuh

Sebanyak 10 negara akan dikenakan pembatasan visa penuh, yang berarti seluruh jenis visa akan dihentikan untuk warganya. Negara-negara dalam kelompok ini meliputi:

  • Afghanistan
  • Iran
  • Suriah
  • Kuba
  • Korea Utara
  • Libya
  • Somalia
  • Sudan
  • Venezuela
  • Yaman

Kelompok Kedua: Pembatasan Visa Sebagian
Kelompok kedua, yang terdiri dari lima negara, akan menghadapi penangguhan sebagian visa. Pembatasan ini akan memengaruhi visa turis, pelajar, serta visa imigran lainnya, dengan beberapa pengecualian. Negara-negara tersebut adalah:

  • Eritrea
  • Haiti
  • Laos
  • Myanmar
  • Sudan Selatan

Kelompok Ketiga: Potensi Pembatasan Jika Tidak Ada Perubahan

Kelompok ketiga mencakup 26 negara yang akan menghadapi pembatasan sebagian jika pemerintah mereka tidak dapat memperbaiki “kekurangan” yang diminta dalam waktu 60 hari. Beberapa negara dalam kategori ini antara lain:

  • Angola
  • Belarus
  • Pakistan
  • Turkmenistan
  • Benin
  • Bhutan
  • Kamboja
  • Kamerun
  • Chad
  • Guinea Ekuatorial
  • Liberia
  • Republik Demokratik Kongo

Kebijakan yang Kontroversial

Kebijakan larangan perjalanan ini pertama kali diperkenalkan oleh Trump pada masa jabatan pertamanya dan sempat menuai kontroversi luas. Pada 2018, Mahkamah Agung AS mengesahkan revisi kebijakan ini setelah berbagai tantangan hukum.

Namun, ketika Joe Biden menjadi presiden, kebijakan ini dibatalkan dengan alasan bahwa kebijakan tersebut diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai inklusif Amerika.

Kini, dengan kembalinya Trump ke kekuasaan, larangan perjalanan tersebut kembali menjadi bagian dari kebijakan imigrasi utamanya. Pemerintah AS berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk melindungi negara dari potensi ancaman keamanan.

Namun, banyak pihak internasional menganggap langkah ini sebagai bentuk diskriminasi yang berpotensi memperburuk hubungan diplomatik dengan negara-negara yang terlibat.

Pemerintah AS menyatakan bahwa laporan akhir mengenai kebijakan ini akan segera dikirimkan ke Gedung Putih untuk ditinjau lebih lanjut.

Meskipun daftar ini telah dipublikasikan, pejabat AS memperingatkan kemungkinan ada perubahan sebelum kebijakan ini resmi diberlakukan.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, juga disebutkan belum memberikan persetujuan final terhadap daftar tersebut, yang menunjukkan bahwa masih ada kemungkinan revisi dalam beberapa hari mendatang.

Kebijakan ini dapat mempengaruhi jutaan orang yang berencana mengunjungi AS untuk tujuan wisata, pendidikan, atau bisnis.

Banyak negara yang tercantum dalam daftar ini memiliki hubungan diplomatik penting dengan AS, sehingga keputusan ini berpotensi menambah ketegangan di panggung internasional.

Saat ini, dunia sedang mengamati bagaimana kebijakan ini akan diterapkan dan dampaknya terhadap hubungan luar negeri AS di masa depan. (*)