HERALD.ID, JAKARTA — Transformasi digital yang diharapkan memperbaiki sistem perpajakan justru menjadi bumerang bagi pemerintah.
Coretax, sistem baru yang digadang-gadang meningkatkan penerimaan negara, malah berujung pada jebloknya setoran pajak dalam dua bulan pertama 2025.
Situasi ini memperparah beban fiskal negara, dengan ancaman defisit yang makin melebar dan utang yang terus membengkak.
Tercatat, utang pemerintah per Januari 2025 sudah mencapai Rp8.909 triliun, mendekati angka psikologis Rp9.000 triliun.
Jika penerimaan pajak terus anjlok, bukan tak mungkin utang tembus Rp10.000 triliun hingga akhir tahun.
Kondisi ini memicu kritik tajam terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang dinilai gagal menjaga disiplin fiskal.
“Kami mendesak Sri Mulyani, Wakil Menteri, dan Dirjen Pajak untuk mundur karena tidak mampu menjalankan mandatnya. Perencanaan keuangan negara amburadul, dan implementasi Coretax justru memperburuk sistem perpajakan,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, Minggu (16/3/2025).
Sistem Coretax, yang dibangun dengan dana Rp1,3 triliun, awalnya diharapkan mampu menambah penerimaan pajak hingga Rp1.500 triliun.
Namun, sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, sistem ini justru bermasalah. Dampaknya langsung terasa: hingga Februari 2025, penerimaan pajak hanya Rp187,8 triliun, jauh di bawah periode yang sama tahun lalu sebesar Rp269,02 triliun.
Anjloknya penerimaan pajak 2025 sebesar 41,8 persen dibanding tahun sebelumnya berpotensi menembus batas defisit APBN lebih dari 3 persen.
Jika itu terjadi, pemerintah Prabowo-Gibran bisa dituding melanggar undang-undang, bahkan terancam impeachment.
Bhima menegaskan, jika kondisi ini berlanjut, dampaknya bukan hanya pada fiskal negara, tetapi juga kepercayaan investor.
“Rating surat utang pemerintah bisa mengalami evaluasi negatif, beban bunga utang akan melonjak, dan belanja negara harus semakin ditekan,” katanya.
Situasi ini, menurut Bhima, menandai rapor merah bagi Sri Mulyani dan jajarannya. Krisis pajak yang dipicu buruknya implementasi sistem digitalisasi perpajakan telah mengguncang stabilitas ekonomi, meninggalkan ancaman serius bagi masa depan keuangan negara. (*)